Karya Azizah Kusuma Dewi
Kabarlamongan.com: Di suatu pagi yang cerah, sang surya rela siap menghangatkan semangat pagiku untuk menuntut ilmu. Aku Riki, mahasiswa jurusan politeknik di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ketika aku hendak berangkat ke kampus, tiba-tiba Hpku berbunyi.
“Tilulit ... tilulit ... tilulit...”
Aku bergegas mengangkatnya dan di di layar kaca HP ku sudah tertera nama tante Rina yang tidak lain adalah mama dari sahabat karibku, Zahra.
“Assalamualaikum, Riki!” suara di seberang telepon muncul sambil terisak tangis.
“Waalaikum salam, Tante! Ada apa?” aku menjawab.
“Gawat, Rik, gawat!”
“Gawat kenapa tante? Ada apa?”
“Zahra, Rik. Zahra!” jawab tante dengan gugup. Aku semakin penasaran.
“Zahra kenapa, Tante? Ada apa dengannya?” aku mulai panik.
“Dia di rumah sakit sekarang. Dia koma,” Tante Rina menjelaskan.
“Astaghfirullahaladzim! Dia di rumah sakit mana Tante? Biar aku segera ke sana.”
“Tuttt ... tuttt ...tuttt...”
Tanda bahwa percakapan saat itu selesai. Saking panik dan khawatirnya Tante Rina akan keadaan Zahra, putri satu-satunya, sampai tidak berucap salam.
Seketika aku juga aku meluncur menuju rumah sakit tempat Zahra dirawat. Aku terpaksa tidak masuk kuliah demi sahabatku yang terbaring koma di rumah sakit.
Setiba di rumah sakit aku langsung menuju ke ICU RSCM untuk mengetahui keadaan terkahir sahabatku. Ketika aku melihat Tante Rina yang sedang menangis dan khawatir pada keadaan Zahra.
“Tante!” sapaku.
“Riki?” Tante Rina berjalan ke arahku.
“Tante, bagaimana keadaan Zahra? Baik-baik saja kan?”
“Tidak, Riki. Zahra belum siuman sejak semalam. Tante khawatir. Tante belumsiap kehilangannya.” Tante Rina memberitahuku tentang keadaan Zahra sambil menangis.
“Tante jangan berbicara seperti itu. Tante harus yakin kalau Zahra pasti akan siuman.”
“Iya, Tante yakin. Tapi, kemungkinan itu sangat kecil, Rik.”
“Tante, percayalah!!! Zahra pasti akan mendapat mukjizat dariNya,” aku berusaha meyakinkan.
Tiba-tiba Tante Rina mengmbil sesuatu dari dalam tas jinjing yang berada di lengannya.
“Riki, Zahra menitipkan buku ini buat kamu,” kata Tante sambil memberikan sebuah buku harian milik Zahra.
“Apa ini, Tante?”
“Bacalah!!!” ujar Tante Rina.
Kemudian aku mulai membaca lembar demi lembar buku harian Zahra sampai aku pada halaman yang tidak aku sangka sebelumnya.
Dear Diary
11 Januari 2011
Senja itu aku berjalan menyusuri sekitar kompleks dengan perasaan senang dan gembira. Di sepanjang jalan aku melihat anak-anak kecil bermain berlarian ke sana kemari dengan senangnya. Hingga aku berhenti melangkahkan kaki di suatu jalan yang di sana berdiri kokoh pohon beringin yang berusia kira-kira 150 tahun. Melihat pohon itu, lantas aku meneteskan air mata. Pohon itu mengingatkanku saat aku bersamanya dulu. Aku tak henti-hentinya mengamati lekuk indah keriput kulit pohon yang di ambang usia senja itu. Lantas seketika itu pula aku teringat memori-memori yang terbingkai indah di dalam pikiranku tentangnya.
Kemudian aku duduk di bangku yang sudah mulai dimakan usia di sebelah pohon itu. aku teringat. Dulu aku pernah mengukir namaku bersamanya di tubuh pohon tua itu dan berharap kasih sayang kita abadi selamanya. Namun, Tuhan berkata lain. Pada 21 Maret 2005 silam, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-17 tahun, ia harus mengalami kejadian tragis yang sekaligus merenggut nyawanya. Kebakaran mobil yang sangat menyeramkan itu tak bisa terlupakan. Hingga saat ini aku masih mengingatnya. Aku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata hingga gendang telingaku menangkap suara yang tidak asing lagi bagiku.
“Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu,” suara itu menyapaku.
Aku menoleh, ternyata itu Riki, sahabatku.
“Aku rapuh ... aku rapuh ...” aku mulai berkata.
“Mana kamu yang dulu? Zahra Kusuma yang tegas, tabah dan pantang menyerah dalam menghadapi masalah.”
Suasana hening sesaat ketika aku tak menjawab pertanyaannya.
“Aku bukan aku yang dulu. Semangatku telah hilang. ketabahanku telah sirna. Aku tak berdaya. Aku lemah.”
“Aku tahu kamu pasti sangat shock atas kejadian 5 tahun itu. tapi yakinlah, jika kamu bangkit kembali menjadi Zahra yang dulu lagi, aku yakin dia akan tersenyum bahagia melihatmu dari nirwana sana.”
Kata-kata Riki itulah yang selalu aku ingat sebagai penyemangatku untuk menjalani kehidupan ini.
Hingga akhirnya aku divonis dokter menderita kanker otak stadium akhir. Umurku tinggal menghitung hari.
Semangatku kembali down ketika mendengar vonis dari dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta itu. Hidupku tak lama lagi. Aku tak tahu harus dengan perasaan atau sedih mendengarnya. Aku mencoba untuk tabah menerima semua kenyataan ini. Karena alur kehidupanku kuserahkan semua kepadaNya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Hingga aku bisa bertahan tiga bulan dari apa yang diperkirakan dokter tentangku. Tiap detikku berharga, tiap menitku begitu berguna. Aku harus selalu siap ketika suatu saat malaikat maut datang menjemputku.
Maafkan aku ...
Terutama kamu, Riki. Maaf jika aku sering menyakitimu, melukai hatimu dengan ucapan atau perilakuku selama ini. Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari dosa. Maafkan aku juga karena harus ninggalin kalian saat ini. Karena aku berpikir inilah saat yang tepat untukku menemuinya.
Riki, maaf aku tidak memberi tahumu tentang keadaankku yang sebenarnya. Karena aku nggak mau kamu sedih dan pusing mikirin aku.
Belum selesai aku membaca, tiba-tiba aku dikejutkan oleh jeritan dari dalam ruang ICU. Ternyata itu adalah Tante Rina yang menangisi Zahra yang terbaring dan sudah tak bernyawa.
Innalillahi wainnailaihirojiun! Aku langsung terperanjat. Sahabatku kini telah tiada.
Itulah lembaran terakhir yang aku baca ketika detik-detik terkahir Zahra Kusuma melihat dunia.
27 April 2011
Selamat jalan kawan! Semoga Engkau tenang di sana! Doaku selalu untukmu. (*)
*adalah siswi program bahasa
SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami