Koran Online- Hidup selalu menghadirkan dua sisi yang tidak dapat terelakkan, yaitu
kebahagiaan dan kesedihan. Dua sisi itu Allah hadirkan sebagai bagian
dari fase kehidupan.
Kesedihan yang terkadang membuat hidup tak
nyaman, juga bahagia yang tak selalu menjadi kawan. Inti dari fase
kehidupan itu adalah pendakian hidup yang senantiasa bermuara pada momen
tak terbantahkan: kematian.
Kematian dilukiskan bak antrian
dalam wawancara sebuah pekerjaan. Ia seolah hanya tinggal menunggu
panggilan, sesuai urutan. Saat malaikat Zabaniyah datang tanpa undangan,
jiwa dan raga pun tercabik, tertarik, tercekik, tiada kawan, hanya
Tuhan sebagai sumber pertolongan.
“Katakanlah, sesungguhnya
kematian yang kamu lari daripadanya, pasti akan menemui kamu. Kemudian
kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui, yang ghaib dan
yang nyata lalu dia berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS
Al-Jumuah: 8)
Cerminan dahsyatnya kematian seharusnya menjadi bahan renungan untuk
tiap insan. Betapa kita benar-benar putus harapan saat kematian ada di
hadapan. Kekayaan, jabatan, pasangan hidup nan menawan, dan segala
hasrat keduniawian sirna saat panggilan itu menimpa kita secara
tiba-tiba.
Semua yang bernyawa akan merasakan mati, begitu
firman Allah mengingatkan kita dalam QS Al-Ankabut ayat 57. Pun
Rasulullah SAW. juga menghadapi kematian merasakan sakitnya sakaratul
maut.
Kematian Rasulullah dilukiskan Aisyah dengan berkucurnya
keringat dari dahi, leher dan sekujur tubuh beliau. Rasulullah pun
bersabda pada Aisyah, “Hai Aisyah, sesungguhnya ruh orang mukmin itu
keluar dengan keringat dan ruh orang kafir keluar dari kedua rahangnya
seperti nyawa keledai,” dan detik-detik kematian, beliau bersabda,
“Kerjakanlah shalat, kerjakanlah shalat!” (HR. Thabrani)
Rasulullah—sebagaimana
kita tahu telah terjamin masuk surga—hingga pada puncak sakaratul
mautnya, apakah Allah mengundurkan waktu barang sejenak untuk tidak
memerintahkan Izrail mencabut nyawanya? Apakah Rasulullah tidak
merasakan sakit sama sekali?
Tidak. Sebagai manusia biasa,
Rasulullah merasakan sakitnya saat ruh keluar dari tiap-tiap urat
syarafnya—di luar konteks derajat kenabian.
Mengutip dari Imam Ghazali, dalam “Dzikrul Maut Wa Maa Ba’dahu”,
beliau melukiskan betapa Rasulullah merasakan kepedihan yang sangat,
bahkan tampak rintihan dari beliau hingga warna kulit beliau berubah.
Dahi beliau juga berkeringat, hingga tarikan dan embusan nafasnya
mengguncangkan tulang rusuk kanan dan kiri beliau sehingga orang-orang
yang menyaksikan beliau menangis—berjuang menahan rasa sakit.
Dahsyatnya
sakaratul maut pun membuat beliau terus berdoa tiada henti, “Ya Allah,
ringankanlah atasku sakaratul maut,” adapun doa yang lain dalam riwayat
Ibn Abd Dunya, “Ya Allah, sungguh Engkau mengambil ruh di antara
urat-urat dan anak-anak jari. Ya Allah, tolonglah aku atas kematian dan
ringankanlah.”
Esensi dari dua doa tersebut ialah bahwa
Rasulullah lebih mengetahui pedih dan sakitnya sakaratul maut yang
dideskripsikan bahwa kematian itu sama dengan tiga ratus kali tebasan
dengan pedang.
Jika Rasulullah Saw saja meminta rukhsah pada
Allah, lalu, bagaimana dengan kita? Adakah persiapan maksimal untuk
menuju ke alam keabadian? Kembali Imam Ghazali menuturkan bahwa
mengingat kematian dapat mengikis nafsu-nafsu duniawi yang penuh tipu
daya ini.
Sebaliknya, tamak kepada dunia dan mengambilnya
berlebihan, dapat melemahkan iman, menyisihkan zikir dari lisan,
meruntuhkan baiknya perbuatan, hingga lalai terhadap kematian.
Na’udzubillah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang
memiliki cukup perbekalan sehingga rindu akan kematian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami