skip to main |
skip to sidebar
Masih Pantaskan Profesor Djohar Jadi Kepala Bola Indonesia

Kabarlamongan.com: Ketua
umum PSSI, Djohar Arifin Husin, memecahkan rekor dalam kurun waktu
kurang dari satu setengah tahun. Sayang, bukan rekor yang patut
dikenang.
Kegagalan demi kegagalan terus dituai oleh ketua umum
yang terpilih lewat Kongres Luar Biasa PSSI di Solo, 9 Juli 2011 silam
itu. Djohar, yang digadang-gadang bisa memperbaiki konflik yang mulai
tumbuh di PSSI, justru membuatnya semakin parah.
Alih-alih
rekonsiliasi, ketua umum asal Tanjung Pura, Sumatera Selatan itu justru
membuat perpecahan kian jelas. Langkah pertama yang dilakukannya adalah
menyapu bersih pengurus lama dan peninggalannya tanpa terkecuali,
termasuk Timnas Indonesia yang sedang menanjak popularitas dan
kualitasnya. Alfred Riedl dipecat sementara seluruh personel Badan Tim
Nasional diganti.
Ia juga membabat habis pengelola liga dan
produknya yang mulai mapan, Liga Super Indonesia dan diganti dengan Liga
Primer Indonesia yang sarat kepentingan. Kian parah, liga baru ini
tidak mampu menunjukkan kualitas yang setara dengan ISL, baik dari segi
ekonomi, kualitas hiburan dan yang terpenting kualitas pemain.
Singkat cerita, penolakan demi penolakan akhirnya meruncing hingga
muncul dualisme organisasi. Setelah mencabut pengakuannya terhadap
kepengurusan Djohar, sejumlah klub mapan Indonesia yang menjadi supplier
utama pemain Timnas menyalurkan dukungannya kepada kepengurusan baru
yang lahir di bawah pimpinan La Nyalla Mattalitti dan menolak
meminjamkan pemainnya untuk Timnas di bawah kendali Djohar.
Naas bagi Djohar, ia tidak mampu beradaptasi dengan masalah yang
ditimbulkannya sendiri. IPL buatannya tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai mesin produksi pemain-pemain kaliber Tim Nasional. Manajemen
Timnas pun amburadul.
Dampaknya, hanya setahun lebih satu bulan
setelah terpilih, Indonesia melorot hingga ke posisi terendah sepanjang
sejarah PSSI berdiri, yakni peringkat ke-159 dunia. Tak berhenti sampai
di situ, posisi Indonesia terus melorot hingga 170 pada bulan Oktober
dan 165 pada bulan ini. Ini adalah rekor pertama yang dicetak Djohar.
Rekor berikutnya adalah hasil imbang 2-2 melawan Laos pada AFF Suzuki
Cup 2012, Minggu (25/11/12). Sebelumnya, Indonesia selalu menang dengan
selisih lebih dari satu gol setiap bertemu Laos di Piala AFF.
Selama ini, Djohar selalu berkilah bahwa buruknya performa Timnas
Indonesia ini karena langkah pihak rivalnya yang menahan pemain-pemain
dari Liga Super Indonesia (ISL) untuk bergabung ke Timnas. Benarkah?
Djohar sebenarnya punya dua kesempatan untuk menghindari masalah
tersebut. Yang pertama adalah mendengarkan penolakan klub-klub ISL
terhadap rencana pembentukan liga baru yang sarat kepentingan. Hal itu
ditolaknya sehingga berbuah perlawanan.
Kedua, kubu La Nyalla
telah memberikan kesempatan untuk menggunakan pemain-pemain dari klub
ISL dengan syarat menyerahkan pengelolaan Timnas pada Joint Committee.
Joint Committee adalah badan yang dibentuk atas prakarsa FIFA dan AFC
untuk mengambil alih penyelesaian konflik organisasi PSSI. Kedelapan
personelnya adalah empat dari kubu Djohar dan empat lagi dari kubu La
Nyalla. Dengan demikian, Timnas bisa dikelola bersama dengan semangat
rekonsiliasi. Namun peluang ini dimentahkan pula oleh Djohar.
Sayang, arogansi ketua umum tidak disertai skil yang mumpuni di bidang
manajemen. Tak jarang Timnas kesulitan mengumpulkan pemain akibat kalah
berebut dengan klub-klub IPL, yang masih butuh jasa para pemainnya.
Selama itu pula, tak ada ketegasan dari Djohar untuk memaksa klub
melepaskan pemainnya demi kebutuhan Timnas. Ini berbeda dengan sikapnya
saat berusaha menekan klub ISL agar meminjamkan pemainnya. Ia bahkan
menghembuskan isu nasionalisme untuk memojokkan klub-klub tersebut.
Kendala dana juga kerap mengganggu pemusatan latihan tim, termasuk
kesulitan mendapatkan lawan tanding yang terprogram. Hasilnya, kualitas
Timnas pun menurun.
PSSI sudah mendapat waktu cukup lama untuk
memperbaiki masalahnya, membentuk Timnas yang kuat serta kesempatan
untuk memainkan pemain-pemain yang lebih berkualitas. Namun hingga kini,
tak satupun yang tercapai. Masih layakkah Djohar menumpangkan
kegagalannya di pundak orang lain ?
(Sumber Inilah.com)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami