Keprihatinan Ulama
Rabu, 19 September 2012
PEMERINTAH mendapat tamparan keras. Kali ini datangnya dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj. Ulama itu memandang perlunya meninjau ulang ketentuan tentang kewajiban membayar pajak bagi warga negara Indonesia.
Dalam pandangan dia, hal tersebut perlu dilakukan karena praktik korupsi demikian marak di Indonesia. Korupsi termasuk menggerogoti uang pajak yang dibayar rakyat.
Walaupun tidak berarti NU mengajak warga agar tidak membayar pajak, imbauan moral itu jangan dianggap remeh. Bukan mustahil warga akhirnya mengikuti dengan moratorium membayar pajak.
Bisa dibayangkan kalau itu terjadi, celakalah negeri ini. Setoran pajak merupakan pos penerimaan terbesar anggaran negara. Sebagai ilustrasi, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012 dari target penerimaan Rp1.358,2 triliun, pendapatan pajak dipatok sebesar Rp968,293 triliun atau lebih dari 70% total penerimaan. Bukan main!
Roda negeri ini terancam berhenti kalau warga berhenti membayar pajak. Karena itu, bukan saatnya menanggapi pernyataan Ketua PBNU sebagai angin lalu. Perlu pembenahan segera, mengingat fakta demi fakta tentang penyelewengan anggaran negara sudah semakin beringas dan terbuka.
Bukan lagi rahasia bahwa sejak di hulu, uang setoran pajak hasil keringat rakyat telah menjadi ajang bancakan.
Skandal mantan pegawai muda Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Gayus Tambunan, yang punya rekening puluhan miliar rupiah di bank, menjadi satu bukti uang yang seyogianya disetor ke kas negara untuk menggerakkan pembangunan justru disulap untuk menggemukkan rekening pribadi.
Di hilir, penerimaan negara pun tidak aman dari tangan penyamun. Uang tersebut masih kena sunat di sana dan di sini, termasuk ketika dianggarkan di legislatif.
Badan Anggaran (Banggar) DPR yang menjadi salah satu penentu besaran anggaran setiap lembaga negara kerap berubah menjadi tempat pangkas penerimaan negara. Kasus Wisma Atlet ialah satu dari sederet kasus yang menguak permainan di Banggar DPR.
Tidak berhenti di situ. Ketika telah mengalir ke kementerian atau lembaga, anggaran pun tidak bebas dari perampas.
Temuan terakhir Badan Pemeriksa Keuangan terhadap biaya perjalanan dinas kementerian/lembaga yang boros, bocor, hingga fiktif menambah deret panjang betapa uang negara yang sebagian berasal dari rakyat melalui pajak telah berubah menjadi rekening gendut banyak aparat.
Karena itu, ketika ulama sampai turun bicara soal penyelenggaraan negara, hal tersebut seharusnya jadi pukulan pedas bagi pemerintah. Apalagi itu bukan kali pertama tokoh agama menyuarakan keprihatinan terhadap penyelenggaraan negara.
Sekarang, bukan saatnya lagi pemerintah berkelit dengan bicara di sana dan di sini mencari tameng. Rakyat sudah bosan mendengar janji manis memberantas korupsi. Aksi nyata lebih ditunggu saat ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami