“Jangan, Dik Narti! Jangan mencalon mendaftar sebagai caleg lagi. Kita sudah tidak punya apa-apa,” ungkap Parlan melarang istrinya yang masih bersikukuh ingin mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.
Suami istri ini setiap hari selalu beradu sikap. Narti yang tahun lalu sudah gagal menjadi anggota legislatif tetap ngotot ingin mencalonkan diri lagi. Sedangkan suaminya sudah tidak menghendaki lagi istrinya maju sebagai calon anggota legislatif.
“Kita sudah tidak mempunyai modal lagi. Sawah, kebun, bahkan mobil yang baru lunas kreditannya sudah lenyap untuk modal pencalegan kamu lima tahun yang lalu. Kalau kamu ngotot ingin maju lagi, saya tidak mampu,” kata Parlan memberikan penjelasan kepada Narti yang duduk murung di sampingnya.
Narti diam. Ia masih tetap berusaha mencari cara meluluhkan hati suaminya agar merestuinya mendaftar menjadi caleg lagi. Wanita setengah baya namun penampilannya masih seperti gadis remaja ini menggeser tempat duduknya. Ia lebih mendekat kepada suaminya. Tangannya yang lembut mencoba membelai rambut suaminya yang sebagian menutupi dahinya. Namun dengan cepat tangan suaminya menolak belaian tangan istrinya. Rupanya Parlan sudah mengetahui akal bulus istrinya yang ingin meluluhkan hatinya.
“Kenapa, Kang?” tanya Narti.
“Aku tahu maksudmu membelai rambutku. Engkau pasti ingin meluluhkan hatiku agar aku bersedia merestui pencaleganmu. Tidak Dik Narti. Sekali tidak tetap tidak. Aku sudah kapok dengan pencalganmu pada pemilu yang lalu.”
“Jangan putus asa, Kang! Memang tahun lalu saya kurang beruntung. Pemilu tahun ini saya yakin pasti menang.”
“Heh, menang? Jangan bermimpi, Dik Narti! Yang menyebabkan seseorang akan memenangkan pemilihan calon legislatif itu bukan kecantikan atau kepintaran. Uang yang akan berbicara. Semakin banyak uang yang dikeluarkan, semakin besar peluang seseorang menjadi anggota legislatif.”
Sesaat suasana hening. Kedua orang yang berbeda sikap ini mencari dasar untuk memenangkan debat. Narti yang keranjingan menjadi anggota legislatif terus melancarkan jurus-jurunya untuk menaklukkan hati Parlan, suaminya. Parlan sendiri tidak tinggal diam. Ia mencari jurus jitu untuk menyadarkan istrinya agar tidak nekat mendaftar sebagai caleg lagi.
Bagi seorang suami seperti Parlan, memang sangat keberatan merestui istrinya menjadi calon anggota legislatif. Selain masalah dana, juga menyangkut masalah harga diri sebagai suami. Seorang suami merasa tidak mempunyai harga diri jika istrinya sering keluar dengan rekan satu partai yang kebanyakan laki-laki. Dan ini sudah terbukti pada pemilu sebelumnya. Narti sering mengadakan pertemuan dengan sesama caleg dari satu partai kemudian mereka berkunjung ke daerah-daerah yang menjadi basis pemilihnya. Tengah malam atau bahkan dini hari Narti baru pulang dengan diantar rekan-rekannya yang mayoritas laki-laki itu. Hal seperti ini masih sangat tabu bagi masyarakat awam yang tinggal di perdesaan yang mayoritas nilai religinya masih sangat kental.
“Sudahlah, Dik Narti, jangan berpikir lagi tentang caleg! Lebih baik kita memikirkan bagaimana membiayai dua anak kita yang kini masih duduk di bangku perkuliahan. Mereka butuh dana banyak untuk menyelesaikan studinya.”
“Urusan biaya kuliah mereka kita pikirkan nanti saja. Yang terpenting bagaimana kita mempunyai dana untuk pencaleganku ini.”
“Lagi-lagi caleg, lagi-lagi caleg! Aku tidak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kamu ini wanita, tidak baik terlalu disibukkan urusan-urusan begitu!”
“Lha, kenapa tahun lalu Kakang merestuiku menjadi caleg?”
“Waktu itu aku terpaksa menurutimu hingga kurela menjual semua yang kita miliki. Tapi apa hasilnya? Kau kalah dan hampir saja kau putus asa dengan mencoba bunuh diri.”
“Ya. Itu dulu karena aku ditipu oleh tim suksesku. Mereka yang kupercaya dan kuserahi dana untuk dibagikan kepada calon pemilih, malah diembat sendiri. Tetapi, Kang percayalah! Saya sekarang sudah menemukan trik untuk memenangkan pencaleganku. Saya sudah memasang calon tim sukses di tiap-tiap desa.”
“Punya tim sukses sekecamatan sekalipun, aku tetap tidak mengizinkanmu maju lagi. Titik!”
Parlan tetap bersikukuh mempertahankan sikapnya yang tidak merestui istrinya menjadi caleg. Dia sudah kapok meuruti kemauan istrinya seperti pemilu lalu sehingga tidak mau terjerumus pada kesalahan yang serupa.
***
Semenjak Parlan tidak mengizikan Narti maju dalam pemilu, Narti
sering duduk menyendiri di bawah teras rumahnya. Wanita setengah baya
yang biasanya berpenampilan seperti gadis remaja ini sudah mulai dimakan
kekecewaan. Kulit wajahnya sudah tidak terawat lagi. Guratan-guratan
usia di wajahnya terlihat jelas bahwa dia bukan lagi seorang gadis
remaja. Dia kini tampak seperti aslinya, wanita setengah baya yang sudah
mempunyai dua anak remaja yang kini masih duduk di bangku perkuliahan.Pada selembar kertas dia menulis sajak. Sajak tentang harapan yang terhalang sang suami. Dia menulis, “Matahari tidak akan berhenti menyinari alam. Dia tidak akan putus asa oleh gumpalan mendung yang menutupi wajahnya. Demikian halnya diriku, yang akan tetap memancarkan sinar di panggung kampanye nanti. Hai, rakyatku! Akulah ratu keadilan yang akan membawa kalian mentas dari kesengsaraan. Akulah ratu kebenaran yang akan selalu menyinari kegelapan dalam kehidupan. Akulah angin yang selalu siap memberikan hembusan nafas segar demi terwujudnya cita-cita kalian menjadi warga yang hidup dalam keadilan, adil dalam kesejahteraan. Coblos aku, Narti!”
“Min, tolong kemari!” Narti memanggil pesuruhnya.
“Ada apa Bu Narti?” tanya Satimin.
“Ini fotokopikan menjadi dua ratus lembar. Pasang di pohon-pohon pinggir jalan dan tiang-tiang listrik atau di tempat keramaian,” perintah Narti sambil menyodorkan kertas yang bertuliskan sajak kampanye.
“Inggih Bu Narti!” Satimin menimpali perintah Narti sambil manggut-manggut.
Sajak Narti yang ditulis sekenanya sudah beredar ke mana-mana. Di setiap desa terpasang selebaran yang berisi ambis Narti menjadi caleg pada pemilu tahun ini. Di sana sini terlihat warga bererumun. Mereka membicarakan ulah Narti yang dinilai ganjil.
Parlan, suami Narti, terkejut saat melihat ada selebaran istrinya yang tertempel di tiang listri di tikungan jalan dekat pasar. Dia lantas bertanya kepada warga yang kebetulan rumahnya dekat dengan tempelan selebaran siapa yang telah menempelkannya.
Parlan lantas mencari Satimin. Ia melihat lelaki kepercayaannya ini sudah berada di rumah bersama Narti. Parlan tertegun melihat sikap istrinya yang berlaga seperti orang yang sedang berkampanye.
Wanita setengah umur itu berdiri tegak sambil mengepalkan tangan kanannya ke atas. Tangan kirinya memegang selembar kertas yang berisi sajak kampanye.
“Dik Narti, apa yang Kau lakukan?” tanya Parlan sambil menangis.
“Hai, rakyatku! Akulah ratu keadilan yang akan membawa kalian mentas dari kesengsaraan. Akulah ratu kebenaran yang akan selalu menyinari kegelapan dalam kehidupan. Akulah angin yang selalu memberikan hembusan nafas segar demi terwujudnya cita-cita kalian menjadi warga yang hidup dalam keadilan, adil dalam kesejahteraan. Coblos aku, Narti” seru Narti.
Narti tetap bersemangat membacakan sajaknya. Dia tidak menggubris pertanyaan suaminya yang menangis di sampingnya. Parlan pun merangkul tubuh Narti lalu menuntunnya masuk ke rumah.
Saat di papah suaminya, Narti tetap bersemangat membacakan sajak itu. Dia hilang kesadaran karena keinginannya maju dalam pemilu legislatif tahun ini terhalang oleh sikap suaminya yang sudah trauma pada pemilu sebelumnya.
Wanar, 29 Oktober 2013
*Cerpenis adalah guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
yang sedang menempuh S-2 di Unisda Lamongan
tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan
Selngkapnya di http://kabarlamongan.com/dik-narti-cerpen-ahmad-zaini/
9 total views, 9 views today
Leave a Reply