Kabarlamongan.com: KASIHAN sekali rupiah. Begitu banyak orang bilang. Maklum, selama beberapa bulan ini mata uang Garuda tak kunjung sembuh dari sakit. Padahal, berbagai obat sudah diberikan Bank Indonesia, tapi hasilnya tetap saja nihil.
Lihat saja Jumat pekan lalu. Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 9.995 per dolar AS. Ini masih mendingan. Pekan sebelumnya, berada di angka Rp 10.009 per dolar AS.Bahkan, kontrak rupiah non deliverable forward (NDF) untuk pengantaran satu bulan ke depan melemah 1,4% menjadi Rp 10.260 per dolar AS. Ini merupakan level terlemah sejak 3 September 2009.
Untuk menjaga rupiah agar tak terperosok lebih dalam, Bank Indonesia (BI)sampai harus menguras cadangan devisa US$ 2,2 miliar. Lihat saja pada April 2013 cadangan devisa masih US$ 107,269 miliar, tapi bulan Mei tinggal US$ 105 miliar.
Menurut ekonom dari Economic Think Tank (Ec-Think), Aviliani, rupiah tertekan karena swasta sedang berburu dolar AS untuk membayar utang luar negeri yang sebentar lagi jatuh tempo. “Supplydolar AS sangat terbatas, sedangkan kebutuhannya cukup tinggi untuk memenuhi utang swasta yang jatuh tempo,” ujar Aviliani kepada InilahREVIEW.
Namun banyak kalangan mengatakan, rupiah melemah karena banyak dana asing yang keluar dari Indonesia. Menurut data Kementerian Keuangan dan Bursa Efek Indonesia, selama tiga minggu di bulan Juni, investor asing sudah menarik dana sebesar US$ 812 juta, baik dari pasar obligasi maupun pasar saham.
Angka ini diperkirakan semakin bertambah gemuk bila bank sentral AS (The Fed)mempercepat kebijakan pengurangan likuiditas. Itu artinya, BI harus mengambil cadangan devisa lagi untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran agar rupiah tidak terlalu melemah. “Cadangan devisa akan kembali tertekan jika AS mempercepat pengurangan likuiditas,” kata Agus Martowardojo, Gubernur BI.
Menurut Khoon Goh, Senior Strategist Australia & New Zealand Banking Group Ltd di Singapura, fundamental rupiah sangat lemah. "Jika melihat besarnya defisit neraca perdagangan, Indonesia membutuhkan arus dana asing senilai US$ 1 miliar per bulannya untuk menahan laju pelemahan rupiah," jelas Khoon Goh.
Memang, sepanjang tahun 2012, Indonesia menderita defisit US$ 1,6 miliar. Inilah angka defisit tertinggi dalam sejarah perdagangan Indonesia. Angka defisit ini terus berlanjut hingga kini. Pada April 2013, misalnya, defisit mencapai US$ 1,62 miliar. Defisit itu terjadi karena ekspor April hanya sebesar US$ 14,79 miliar, sedangkan impor melonjak menjadi US$ 16,31 miliar.
Padahal di bulan Maret, Indonesia sempat mencicipi surplus sebesar US$ 304,9 juta. Surplus neraca perdagangan Indonesia tersebut dikontribusi oleh ekspor yang mencapai US$ 15 miliar, sementara impor sebesar US$ 14,70 miliar.
Jadi, banyak yang rugi akibat melemahnya rupiah dan menguatnya dolar AS. Importir harus mengeluarkan uang berlebih untuk membeli bahan baku impor. Begitu pula yang punya utang luar negeri dalam mata uang dolar AS. Semakin kuat dolar AS, semakin besar utang yang harus dibayar.
Namun, ada pengusaha yang untung dari melemahnya rupiah. Mereka adalah kalangan eksportir yang selama ini menggunakan bahan baku sepenuhnya lokal.
Yang jelas, BI tak ingin rupiah terus tertekan. “Kami akan menjaga rupiah,” kata Agus Martowardojo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami