Dan engkau ramu setitik kata dalam tetes air hujanmu
Angin yang bercakap tajam, tetes yang bernada curam serta dentuman guntur yang merajam
Tangis anak merindukan sesendok air gula mengisyaratkan pilu pada rembulan yang tak enggan menipi dalam pandang
Ibu merantau jauh demi setandan kayu untuk masak di dapur
Kilat petir, tanjam hembusan angin dan air hujan
Ia hadapi dengan wajah pelangi yang mengiasi pandang
Tanpa setitik tinta hitam atau muka kusam
Setandan kayu ia bopong dengan senyum manis di bibir,
Ia, sungguhpun diri malu akan ketangguhannya
Sembilan bulan ia sudah mengandungku di badan
Bahkan sembilan belas tahun kini usiaku ia selalu merawat tubuhku, wajahku, serta cita-citaku
Meski tiap berjumpa debat kata kerap tak henti terucap
Tentang masakan, tentang beda pendapat bahkan tentang kesalahan diriku sendiri pun kerap kumenyalahkan
Piring kata berterbangan ke seluruh ruangan, bahkan menutup kata pun pernah kulakukan berhari-hari kepadanya
Ibu,
Engkau bintang penghias langit kemuramanku
Engkau pelangi yang menyinari embun kala hujan redah
Meski petir, angin, air menghujam kelembutanmu
Tapi cantik senyum selalu engkau hadirkan dalam setiap kegelisahanku
Ibu,
Maafkan aku bila cintamu tak terbalas semurni emas di titian waktu.
Oleh: MOH. FAUZAN, Lahir di Ds. Canditunggal Kalitengah Lamongan


