![]() |
Salah satu wisata di Bangkok, Thailand |
Meskipun kunjungan pertama dan ketiga sepenuhnya untuk kepentingan akademis, di sela-selanya saya menyempatkan diri mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal di Bangkok. Bahkan pada kunjungan pertama, panitia kursus singkat membawa peserta pelatihan ke sebuah tempat yang akan saya ceritakan di sini dan saya impikan tempat itu ada di kota kelahiran saya, Lamongan. Khususnya di wilayah pesisir.
Menjelang akhir kursus singkat yang saya ikuti pada tahun 2009, panitia mengajak kami, para peserta, ke sebuah tempat tanpa memberitahu nama tempat tujuan itu. Mulanya saya bertanya-tanya dalam hati akan melaju ke manakah mobil van yang kami tumpangi saat itu. Semakin jauh meninggalkan Bangkok, semakin terasa bahwa mobil ini menuju suatu tempat sepi dan terpencil. Dari papan penunjuk di jalan raya, sepertinya akan menuju sebuah propinsi lain di luar Bangkok. Tanda tanya dalam batin saya semakin membesar tatkala mobil ini memasuki sebuah area seperti tambak garam dan ikan yang begitu luas, dikelilingi dengan pepohonan pantai yang rimbun. Pemandangan seperti ini sama sekali tidak asing bagi saya, karena di wilayah seperti inilah saya dibesarkan dan menghabiskan sebagian besar masa kecil dan remaja, sebelum angin nasib menerbangkan saya ke berbagai tempat.
Mobil pun akhirnya berhenti. Tak salah lagi, itu adalah hutan bakau atau mangrove. Sebuah papan nama kecil dengan tegas menginformasikan bahwa daerah ini adalah sebuah pusat penelitian hutan bakau di kawasan Propinsi Samut Sakhon, Thailand, yang berjarak sekitar 36 kilometer dari pusat kota Bangkok. Begitu turun dari kendaraan, panitia yang sekaligus menjadi pemandu wisata itu menceritakan kepada kami tentang hutan ini sembari mengajak kami menelusuri hutan bakau yang mengundang decak kagum itu, meskipun bagi saya pepohonan dan lingkungan di hutan ini sama sekali tidak asing dan terkesan biasa. Karena bukankah ini pepohonan yang pada masa kanak-kanak saya disebut sebagai tanjang, brayo dan entah apa lagi oleh orang-orang di dusun saya? Saya akrab dengan pepohonan itu, karena sembari menggembala kambing, saya dan teman-teman biasanya mencari pohon-pohon tanjang yang tinggi, yang batang dan rantingnya kokoh. Di situlah kami biasa bergelantungan, berlindung dari sinar terik matahari daerah pesisir yang menyengat, sembari mengawasi kambing-kambing kami yang menyantap rumput di tepian jalan.
Namun, tak ayal, saya terbelalak juga melihat hutan bakau yang seluas ini dikelola secara serius dan indah, dan lebih-lebih begitu mengetahui manfaatnya. Mata hati kesadaran saya lebih terbelalak lagi, manakala menyadari bahwa di sekitar dusun saya, pohon tanjang dan brayo yang hanya merupakan bagian kecil dari spesies bakau itu kini telah tiada. Saya yakin semua bermula dari ketidaktahuan. Hutan bakau itu dulunya lebat, tetapi ditebang oleh warga dusun kami karena terdesak kebutuhan hidup. Tak ada yang melarang, pun tak ada orang yang menceritakan apa pentingnya pohon tanjang dan brayo itu. Mungkin karena tak ada yang tahu. Memang kayu-kayu yang ditebang itu tak dijual. Tetapi tetap saja ia menopang kehidupan sebagian warga dusun karena sarana memasak yang dikenal waktu itu hanyalah dapur dengan kayu bakar.
Tetapi itu bukan satu-satunya sebab. Perluasan aliran Bengawan Solo ke wilayah Lamongan utara menjadi sebab lainnya. Itu terjadi sekitar tahun 1990-an. Karena banjir menjadi langganan tahunan wilayah Kabupaten Lamongan yang dilintasi oleh Bengawan Solo, maka sebuah solusi ditemukan. Dibuatlah aliran baru sepanjang 13,6 kilometer menuju Laut Jawa. Sungai baru itu melintasi hutan, persawahan, tambak, dan sejumlah lahan lainnya di sejumlah kecamatan dari Desa Pelangwot Kecamatan Laren, hingga Desa Sedayulawas Kecamatan Brondong yang juga melintasi Dusun Benges dan Dusun Mencorek. Karena proyek itu, maka hampir semua tanah yang akan dilintasi sudetan Bengawan Solo dibeli pemerintah. Sebagian menjadi sungai baru yang lebarnya sekitar 50 hingga 100 meter, dan sebagian lainnya menjadi lahan urukan dari tanah galian sungai baru itu. Memang manfaat sudetan itu sangat banyak. Namun ada satu hal yang terlupakan. Karena timbunan lumpur kerukan itu, mudah diduga, hutan bakau yang semula hijau menghiasi sebelah barat dusun kami berubah menjadi hamparan tanah dan lumpur, karena tumpukan lumpur itu menggunung melampaui tinggi pohon-pohon bakau dan akhirnya menimbunnya.
Begitu menyaksikan hutan bakau di Samut Sakhon, Thailand, inilah saya tersadar. Betapa eloknya jika lahan tidur itu kembali ditanami bakau. Hutan bakau tak hanya akan menjadikan lahan di sekitar sudetan Bengawan Solo itu rimbun, tapi juga akan memberi sejumlah manfaat. Secara fisik, hutan bakau akan melindungi tebing sungai dari erosi, sehingga bisa menjadi penangkal banjir manakala luapan air Bengawan Solo tak mampu dihadang oleh tanggul di sebelahnya. Saya tak memahami ilmu kehutanan, tetapi dari sejumlah bacaan umum, saya mengetahui bahwa salah satu manfaat hutan bakau yang dahsyat adalah ia mampu menjadi filter air asin menjadi air tawar.
Tak hanya itu, hutan bakau juga bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat di dusun kami dan sekitarnya. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh orang-orang di dusun kami untuk bertahan hidup, selain bertani dan menjadi penangkap ikan, udang dan kepiting, seperti juga saya lakukan semasa kecil dulu. Tetapi jika hutan bakau yang menjadi tempat ikan, udang dan kepiting berlindung itu kini tiada, maka jangan salahkan ketika sekarang susah mencari benda-benda laut itu di sungai-sungai air asin dan payau di sekeliling dusun kami.
Sayapun membayangkan, seandainya hutan bakau itu ada, maka tak hanya ikan yang akan bisa dipanen, tetapi ia bisa disulap menjadi wisata hutan bakau atau pusat penelitian bakau seperti di Samut Sakhon, Thailand. Bayangan saya tentang wisata hutan bakau di Pesisir Lamongan pun semakin liar tatkala saya membaca berita tentang hal serupa yang sudah terjadi di ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Di beberapa tempat di kabupaten ini, hutan bakau dikelola dengan baik dan memberi manfaat yang sangat banyak kepada masyarakat. Memang di Indonesia banyak contoh yang bisa dihadirkan tentang pengelolaan hutan bakau yang berhasil seperti di Banyuwangi ini, tetapi karena jauhnya dunia ilmu saya dengan persoalan hutan bakau ini, justru ketika berkunjung ke Thailand saya baru menyadari kenyataan ini.
Lain hutan bakau, lain pula dengan sebuah sungai yang melintas di tengah Kota Bangkok. Chao Phraya, nama sungai itu. Sungai itu adalah salah satu obyek wisata andalan Bangkok. Pada kunjungan terakhir (2013), saya berkesempatan mengamati dari dekat aktivitas wisata di Sungai Chao Phraya ini. Sekali lagi kesadaran saya terbuka, dan pikiran saya segera membayangkan Sudetan Bengawan Solo di sebelah barat dusun saya.
Sungai Chao Phraya memiliki panjang sekitar 357 kilometer dan memiliki sejarah yang sangat panjang. Aneka rupa, bentuk, dan warna perahu tradisional bisa kita temukan mengapung di airnya yang sebagian berwarna biru dan sebagian lagi coklat. Perahu-perahu itu adalah sarana transportasi air dan sekaligus obyek wisata yang menarik. Duduk di sebuah taman di tepi sungai itu pada suatu siang di Bulan Maret, saya termangu menyaksikan wisatawan –sebagian besar berkulit putih—memenuhi tiap-tiap perahu yang melintas.
Sungai-sungai itu dilengkapi dengan sejumlah dermaga dan penumpang bisa turun di dermaga sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya, jika seorang wisatawan ingin melihat-lihat kemegahan Jembatan Rama VIII Bangkok, maka ia harus turun di Dermaga N14. Jembatan Rama VIII adalah sebuah jembatan yang menghubungkan dua sisi Kota Bangkok yang berada di sebelah barat dan timur Sungai Chao Phraya. Demikian juga jika seorang pelancong hendak berbelanja tekstil khas Thailand yang murah, ia bisa memilih untuk turun di Dermaga N10. Jika tertarik mengunjungi ikon Bangkok yang paling terkenal, yaitu Istana Raja, maka pengunjung harus turun di Dermaga Maharaj, dan demikian seterusnya.
Maka sebagai warga dusun yang dilintasi oleh sungai baru itu, saya memimpikan untuk melengkapi Wisata Bahari Lamongan (WBL) di Kecamatan Paciran yang hanya berjarak beberapa kilometer dari lokasi, wisata air dan hutan bakau ini sesungguhnya bisa dipertimbangkan. Berbeda dengan Thailand, di mana wisata hutan bakau dan Sungai Chao Phraya terpisah, jika ada kemauan, wisata hutan bakau dan wisata air di kawasan Sudetan Bengawan Solo ini bersifat terpadu. Maka bisa dibayangkan, sembari menikmati hutan bakau dan aneka satwa laut yang menghuninya, bermula dari dermaga awal di bawah jembatan Desa Sedayulawas, di sela-sela perjalanan menikmati hutan itu terdapat pula dermaga-dermaga khusus pada tiap-tiap jarak tiga kilometer, misalnya.
Seperti halnya di sepanjang aliran Sungai Chao Phraya, maka dermaga-dermaga itu menyediakan aneka kebutuhan wisatawan. Misalnya, di dermaga pada 3 kilometer pertama adalah dermaga bagi pusat jual beli oleh-oleh khas Lamongan. Sementara pada dermaga 3 kilometer berikutnya menjadi terminal bagi wisatawan yang berkeinginan mencicipi aneka makanan khas Lamongan, seperti Soto Lamongan, misalnya. Pada 3 kilometer berikutnya, adalah pusat kerajinan masyarakat, misalnya segala bentuk kerajinan tangan lokal yang terbuat dari benda-benda laut.
Jika ini bisa diwujudkan, maka peningkatan kesejahteraan masyarakat di pesisir utara Lamongan bukan lagi mimpi. Tetapi, harus diingat bahwa semua yang saya ungkapkan ini hanyalah sebatas mimpi. Mimpi seorang putra dusun yang melihat potensi-potensi terpendam di sekitar dusunnya yang bisa dimanfaatkan. Kita menunggu keterbukaan hati para penguasa di Lamongan untuk mewujudkan mimpi ini, yaitu mimpi “Membawa Bangkok ke Lamongan”. Selamat bermimpi!
Pradana Boy ZTF, putra pesisir utara Lamongan. Kandidat doktor di National University of Singapore (NUS).
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami