KORAN ONLINE- Diriwayatkan dari Abu Ayyash al-Qathan, dia mengatakan, ada seorang raja yang hartanya melimpah ruah.
Dia
hanya mempunyai seorang putri yang sangat dicintai dan disayanginya.
Sang raja sangat memanjakan putri kesayangannya itu dengan aneka rupa
harta. Dan yang demikian berlangsung sekian lama.
Sementara di
samping raja itu ada seorang ahli ibadah. Dan ketika suatu malam dia
membaca Alquran, suaranya meninggi ketika membaca ayat berikut, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-Tahrim: 6).
Ketika
pelayannya mendengar, dia pun mengingatkan tetangganya itu.
“Berhentilah!” Namun, si abid (ahli ibadah) tetap melanjutkan dan malah
mengulang-ulang membaca ayat itu. Si pelayan terus mengingatkan agar si
abid berhenti membaca ayat itu. Namun, si abid tetap tak berhenti.
Mendengar
ayat tersebut, putri raja meletakkan tangannya ke kantong seraya
merobek-robek bajunya. Kemudian, para pelayannya datang menemui raja,
seraya menceritakan apa yang terjadi.
Raja pun menemui buah
hatinya. “Duhai sayang, apa yang terjadi denganmu sejak semalam? Apa
yang menyebabkanmu menangis?” ujar sang raja.
Sang putri
menjawabnya dengan mengutarakan pertanyaan. “Wallahi (demi Allah),
ananda ingin bertanya kepada ayah, 'Apakah Allah punya rumah yang di
dalamnya ada api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu?”
Sang raja mengiyakannya.
“Lantas apa yang menghalangi ayah untuk
menceritakan hal itu padaku? Wallahi, ananda tidak bisa makan dengan
enak dan tidak bisa tidur dengan pulas, sampai nanda tahu di mana
kediaman saya kelak; di surga atau neraka?”
Pertanyaan yang
diajukan cukup menggetarkan jiwa. Ya, ketika seseorang hidup dalam
gelimang kemewahan, lebih-lebih di saat materi diagung-agungkan
sedemikian rupa sehingga menjadi parameter baik-buruknya seseorang.
Kemudian,
muncul kesadaran akan adanya surga dan neraka, maka hal itu menjadi
suatu anugerah dan hidayah yang tiada terkira. Karena beragam perilaku
menyimpang, antara lain, dipicu lantaran seseorang melupakan surga dan
neraka.
Takut terhadap neraka dan merindukan surga adalah bagian
iman yang sangat penting dan keyakinan ini pulalah yang mewarnai
kehidupan manusia. Di kalangan sahabat, banyak yang rela mengorbankan
apa pun, termasuk jiwanya, demi meraih surga. Misalnya, Umair bin Hamam,
yang syahid dalam Perang Badar, dan Amru bin Jamuh yang gugur dalam
Perang Uhud. Kedua sahabat ini dijanjikan surga oleh Rasulullah SAW yang
luasnya seluas langit dan bumi.
Kalau Nabi juga bersabda, “Haji
yang mabrur, tiada balasan baginya kecuali surga,” (HR Bukhari dan
Muslim), seyogianya hal itu menginspirasi para haji (hujjaj) untuk terus
merindukan surga, sehingga yang tampil darinya adalah sifat-sifat ahli
surga.
Setara dengan kerinduan terhadap surga adalah ketakutan
terhadap neraka. Banyak sahabat dan shalafush-shalih yang sudah
mencontohkannya. Dengan kondisi jiwa seperti inilah, diharapkan bisa
mendorong seseorang untuk beramal sebanyak mungkin dan meredam sekecil
apa pun dosa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami