Jakarta: Kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama (Jokowi-Ahok) dalam putaran kedua Pemilihan Gubernur (Pilgub)
DKI Jakarta menegaskan pelemahan peran partai politik (parpol).
Musababnya parpol telah terjebak menjadi kultus pribadi.
"Kita bergerak selama 12 dalam posisi stagnan yaitu demokrasi kultus. Di
mana partai identik dengan tokoh. Jadi, Partai Gerindra identik dengan
Ketua Dewan Pembina Prabowo Subianto, PDIP dengan Megawati
Soekarnoputri, Hanura dengan Wiranto, dan lainnya. Artinya demokrasi
yang belum terlembaga, masih primitif, dan partai menjadi alat kekuasaan
yang akibatnya mesinnya mudah rusak," ujar pengamat politik Charta
Politika Yunarto Wijaya di Jakarta, Ahad (23/9).
Menurut dia, gejala itu sudah berlangsung sejak 2005 di mana parpol di
posisi sekunder di bawah dominansi ketokohan. Keterikatan konstituen
dengan partai sangat rendah.
Artinya, tambah Yunarto, kepatuhan terhadap pilihan partai rendah karena
tidak ada fungsi rekrutmen, regenerasi, dan komunikasi politik.
Rekrutmen didasari oleh kekuatan kapital, regenarasi hanya milik
dinasti, dan komunikasi terjadi saat awal pemilu. "Akibatnya mesin
parpol menjadi lemah tidak bergerak," kata Yunarto.
Pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta, pasangan Jokowi-Ahok bergerak
dengan dukungan dua parpol, yakni PDIP dan Gerindra. Adapun Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli didukung belasan parpol, termasuk sejumlah partai
besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PKS, PAN, dan PKB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami