Iklan

Iklan
Advertorial
News Update :

Kepala Daerah Diperiksa, Tak Usah Izin Presiden

Kamis, 27 September 2012

Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah tidak perlu mengantongi izin dari Presiden.

Dalam sidang putusan uji materi Pasal 36 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-undang (UU) Nomor 12/2008 tentang Kepala Daerah, MK berpendpat, sepanjang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, penegak hukum, dalam hal ini Polri dan kejaksaan, dapat langsung memeriksa kepala daerah tanpa meminta izin kepala negara.

Alasan juru tafsir konstitusi itu, izin Presiden pada tahap penyelidikan dan peyidikan berpotensi menghambat proses hukum. Selain alasan itu, kedua pasal tersebut secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 36 ayat 1 dan 2 tidak mengikat secara hukum," kata Ketua MK Mahfud MD, saat membacakan putusan Kantor MK di Jakarta, Rabu (26/9).

Pasal 36 ayat 1 menyatakan, "Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik."

Adapun isi Pasal 36 ayat 2 adalah, "Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak diberikan Presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan."

Pada kesempatan yang sama, anggota Majelis Hakim MK, Akil Moctar berpendapat persetujuan tertulis Presiden tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subyek hukum, kepala daerah pun harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Meski begitu, izin dari kepala negara harus dikantongi pada saat tindakan penahanan terhadap kepala daerah. Alasannya, penahanan tersebut dikhwatirkan berpotensi menghambat roda pemerintahan daerah.

"Ini karena kepala daerah merupakan bawahan Presiden. Perlakuan ini hanya unntuk menjaga harkat dan martabat yang bersangkutan," cetus Akil.

Meski begitu, MK mendukung proses hukum yang bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Karena alasan tersebut, Majelis Hakim kemudian memotong waktu jawaban tertulis menjadi 30 hari. "Sebelumnya membutuhkan 60 hari."

Pemohon uji materi beleid ini adalah Feri Amsari, Teten Masduki, Zainal Arifin Mochtar, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Pemohonan berpendapat, izin Presiden kerap menghambat proses pemberantasan korupsi dan sebagai bentuk intervensi terhadap hukum.

"Hal ini bentuk pelanggaran prinsip nondiskriminasi dan bertentangan dengan asas equality before the law," kata kuasa hukum pemohon Alvon Kurnia.
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkomentar di website kami

 

© Copyright Berita Lamongan Terkini 2010 -2011 | Design by Kabarlamongan.com | Published by Nirwana Digital Print | Powered by Blogger.com.