KATA PENGANTAR
Program Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II menargetkan berbagai penyempurnaan program pendidikan antara lain pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dan Metode Belajar Aktif. Kebijakan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dicanangkan berdasarkan masukan dari masyarakat, pengembangan telah dilakukan bersama oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) dan beberapa Unit Utama di lingkungan Kemendiknas serta kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Upaya yang telah dilakukan masyarakat dan lembaga terkait berupa pemikiran tentang pendidikan nilai, moral, dan karakter bangsa telah dikembangkan dan dilaksanakan dalam skala yang ’manageable’ sesuai dengan kemampuan lembaga terkait dan dukungan kebijakan pemerintah. Pada saat sekarang, kebijakan pemerintah merupakan bukan saja dukungan tetapi juga unsur yang berperan aktif dalam pengembangan budaya dan karakter bangsa.
Berdasarkan kajian terhadap masukan dari masyarakat baik melalui media massa, seminar, sarasehan, kajian literatur, maupun upaya langsung dalam melaksanakan pendidikan nilai, moral, budaya, dan karakter, Balitbang menyusun naskah Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Pikiran tentang Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang tercantum dalam naskah yang ada di hadapan para pendidik dan peminat pendidikan ini merupakan pikiran yang bersifat praktis dan dapat dilaksanakan dalam suasana pendidikan yang ada di sekolah pada saat sekarang. Meskipun demikian, pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa memerlukan berbagai perubahan dalam pelaksanaan proses pendidikan yang terjadi di sekolah pada saat sekarang. Perubahan yang diperlukan tidak mengubah kurikulum yang berlaku tetapi menghendaki sikap baru dan keterampilan baru dari para guru, kepala sekolah dan konselor sekolah. Sikap dan keterampilan baru tersebut merupakan persyaratan yang harus dipenuhi (conditio sine qua non) untuk keberhasilan implementasi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Perubahan sikap dan penguasaan keterampilan yang dipersyaratkan tersebut hanya dapat dikembangkan melalui pendidikan dalam jabatan yang terfokus, berkelanjutan, dan sistemik.
Karakter sebagai suatu ’moral excellence’ atau akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara bangsa Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga negara.
Berbeda dari materi ajar yang bersifat ’mastery’, sebagaimana halnya suatu ’performance content’ suatu kompetensi, materi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa bersifat ’developmental’. Perbedaan hakekat kedua kelompok materi tersebut menghendaki perbedaan perlakukan dalam proses pendidikan. Materi pendidikan yang bersifat ’developmental’ menghendaki proses pendidikan yang cukup panjang dan bersifat saling menguat (reinforce) antara kegiatan belajar dengan kegiatan belajar lainnya, antara proses belajar di kelas dengan kegiatan kurikuler di sekolah dan di luar sekolah.
Disamping persamaan dalam kelompok, materi belajar ranah pengetahuan (cognitive) yang dalam satu kelompok ’developmental’ dengan nilai, antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar dalam perencanaan pada dokumen kurikulum (KTSP), silabus, RPP, dan proses belajar. Materi belajar ranah pengetahuan/kognitif dapat dijadikan pokok bahasan sedangkan materi nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa tidak dapat dijadikan pokok bahasan karena mengandung resiko akan menjadi materi yang bersifat kognitif. Oleh karena itu, dalam pengembangan materi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sikap menyukai, ingin memiliki, dan mau menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi tindakan dalam perilaku kehidupan peserta didik sehari-hari merupakan persyaratan awal yang mutlak untuk keberhasilan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Proses pembelajaran Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dilaksanakan melalui proses belajar aktif. Sesuai dengan prinsip pengembangan nilai harus dilakukan secara aktif oleh peserta didik (dirinya subyek yang akan menerima, menjadikan nilai sebagai miliknya dan menjadikan nilai-nilai yang sudah dipelajarinya sebagai dasar dalam setiap tindakan) maka posisi peserta didik sebagai subyek yang aktif dalam belajar adalah prinsip utama belajar aktif. Oleh karena itu, keduanya saling memerlukan.
Selain sebagai pedoman untuk pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, naskah ini dilengkapi juga dengan indikator sekolah dan indikator kelas yang dianggap kondusif dalam penerapan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Kepada guru, kepala sekolah, konselor sekolah, dan pengawas dapat menggunakan indikator tersebut sebagai pedoman dalam mengembangkan dan menilai budaya sekolah yang kondusif untuk Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Semoga naskah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh guru, kepala sekolah, konselor sekolah, pengawas, dan pihak lain yang terkait.
Selain itu, tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi baik berupa pikiran, kemampuan maupun tenaga sehingga pikiran-pikiran awal menjadi suatu konsep nyata dalam bentuk naskah ini.
BAB I
A. Latar Belakang
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya di berbagai media massa, seminar, dan sarasehan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada awal tahun 2010 menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional.
Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa telah dilakukan di berbagai direktorat dan bagian di berbagai lembaga pemerintah, terutama di berbagai unit Kementrian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa, akhirnya berakumulasi pada kebijakan pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak untuk masa 5 (lima) tahun mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
B. Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
C. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
D. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
- pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
- perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
- penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
E. Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
- mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
- mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
- menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
- mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
- mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
F. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
- Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
- Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
- Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
- Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Pendidikan Karakter?
2. Bagaimana dampak dan peran pendidikan karakter di sekolah?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Dapat mengetahui pengertian dan seluk beluk pendidikan karakter
2. Dapat mengetahui dampak dan peran penerapan pendidikan karakter di Sekolah Dasar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Karakter
Kata karakter berasal dari kata Yunani, Charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Mempunya akhlak mulia adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan . Dalam istilah bahasa Arab karakter ini mirip dengan)proses pengukiran( , yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal)akar kata khuluk(akhlak yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati ynag baik. Oleh karena itu, pendidikan ,)baik(karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil.
Pendidikan karakter juga dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak.Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan.Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
2.2 Dampak Pendidikan Karakter
Beberapa penelitian bermunculan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
2.3 Pendidikan Karakter di Sekolah
Faktor kelurga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi social anak dapat dikoreksi dengan memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama sejak usia dini. Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya.Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yangberisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan penghafalan (kognitif). Para siswa diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Menurut Berman, iklim sekolah yang kondusif dan keterlibatan kepala sekolah dan para guru adalah factor penentu dari ukuran keberhasilan interfensi pendidikan karakter di sekolah. Dukungan saran dan prasarana sekolah, hubungan antar murid, serta tingkat kesadaran kepala sekolah dan guru juga turut menyumbang bagi keberhasilan pendidikan karakter ini, disamping kemampuan diri sendiri (melalui motivasi, kreatifitas dan kepemimpinannya) yang mampu menyampaikan konsep karakter pada ana didiknya dengan baik.
2.4 Nilai-nilai Karakter Yang Perlu Ditanamkan di SD
Pada masyarakat yang heterogen dengan berbeda-beda latar belakang social budaya dan agama, adanya common values (nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama) sangat diperlukan. Nilai-nilai ini dapat menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi social yang harmonis, yaitu terjadinya rasa kebersamaan. Misalnya, adanya nilai kejujuran yang dijunjung tinggi maka akan membuat setiap orang percaya pada kelompok masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak akan diambil haknya atau ditipu. Juga dengan adanya tanggung jawab, setiap orang akan menjalankan kewajibannya, sehingga hak semua orang dapat terpenuhi.
Ada beberapa nilai yang dianggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter. Misalnya dalam deklarasi Aspen dihasilkan 6 nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam system pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
Ada beberapa nilai yang dianggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter. Misalnya dalam deklarasi Aspen dihasilkan 6 nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam system pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
1. Dapat dipercaya
2. Memperlakukan orang lain dengan hormat
3. bertanggung jawab
4. adil
5. kasih saying
6. warga Negara yang baik
Sedangkan IHF telah membuat konsep 9 pilar karakter yang untuk dijadikan modul pendidikan karakter. Kesembilan plar ini adalah nilai-nilai yang bersifat universal yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, bijaksana, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong, (6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
2.5 Membangun Karakter di sekolah Secara Efektif
1. Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang mengandung acuan nilai moral.
Lawrence Kohlberg adalah seorang yang paling berperan dalam menerapkan metode values clarification atau yang dikenal dengan moral dilemmas. Apabila seseorang sejak kecil tidak diberitahukan bekal standard moral yang dianggap baik atau buruk dan tidak berlatih untuk beraku jujur , maka kapasitas untuk memilih “tidak mencuri” tidak dimiliki, sehingga dengan mudah diaa mengambil keputusan untuk mencuri. Apabila ia mempunyai kapasitas di dalam dirinya untuk berlaku jujur, maka perasaan bimbang akan muncul, dan ia dapat memilih diantara dua tindakan “mancuri” dan “tidak mencuri”. Metode value clarification tidak membenarkan untuk mengajarkan standart dari moral, tetapi harus timbul dari dalam diri seseorang, seperti metode Socrates. Hal ini bukan berarti cara Socrates dengan argumentasi adalah salah, tetapi menurut William Kilpatrick, cara ini hanya tepat digunakan untuk orang dewasa atau orang yang mengetahui sebelumnya standart moral baik dan buruk. Bahkan menurut plato sebagai orang yang menguasai filsafat Socrates, metode argumentasi hanya dapat diberikan pada orang yang sudah dewasa atau diatas umur 30 tahun.
2. Pendidikan karakter yang melibatkan aspek moral knowing, moral feeling, dan moral action. Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami , merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.
3. Penerapan kurikulum pendidikan karakter secara eksplisit
John Dewey mengatakan bahwa sekolah yang tidak mempunyai program pendidikan karkter tetapi dapat mendirikan suasana lingkungan sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai moral, sekolah tersebut mempunyai pendidikan moral yang disebut hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Salah satu kurikulum pendidikan karakter yang secara eksplisit dijalankan adalah metode pendidikan STAR (Stof,Think,Action,and Review) yang dikembangkan oleh Jafferson Center for Caracter Education yang berkedudukan di California, Amerika Serikat. Metode ini hnya memerlukan waktu 10 sampai 15 menit sehari sebelum kelas dimulai. Anak-anak mendapatkan pendidikan karakter dengan intruksi yang diberikan guru sesuai dengan kurikulum yang tersedia, dengan menggunakan beberapa tema secara bergantian (be responsible, be on time, be nice, be a good listener, dan sebgainya). Dengan menggunakan metode ini murid-murid sekolah digiring untuk mengerti konsep-konsep dengan cara berdiskusi. Kekurangan dari metode ini adalah kurang melibatkan aspek loving dan action.
4. Menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practices)
Sistem pendidikan yang salah dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan sekarang menganggap anak-anak sebai bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menyalakan semangat agar murid lebih bergairah untuk belajar. Sebetulnya setiap manusia dianugrahkan insting kecenderungan alami untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses alami seperti halnya kita bernafas. Menurut seorang pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugrahkan 2 insting yaitu insting untuk menyedot air susu ibu dan insting belajar. Kline mengibartkan dengan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya walaupun kita tidak pernah menginstruksikannya secara langsung. Ia belajar dengan cara bereksplorasi. Yang melibatkan seluruh aspek inderanya ; mencium, meraba, mencicipi, merasakan, merangkap berbicara, mendengar dan betul-betul dalam proses belajar ini. Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak sebagai individu yang utuh yang melibatkan 4 komponen pengetahuan keterampilan sifat alamiah dan perasaan karena pikirn emosi imajinasi dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila system pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan maka perkembangan intelektual, social dan karakter anak, dapat terbentuk secara simultan.
Sistem pendidikan yang salah dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan sekarang menganggap anak-anak sebai bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menyalakan semangat agar murid lebih bergairah untuk belajar. Sebetulnya setiap manusia dianugrahkan insting kecenderungan alami untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses alami seperti halnya kita bernafas. Menurut seorang pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugrahkan 2 insting yaitu insting untuk menyedot air susu ibu dan insting belajar. Kline mengibartkan dengan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya walaupun kita tidak pernah menginstruksikannya secara langsung. Ia belajar dengan cara bereksplorasi. Yang melibatkan seluruh aspek inderanya ; mencium, meraba, mencicipi, merasakan, merangkap berbicara, mendengar dan betul-betul dalam proses belajar ini. Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak sebagai individu yang utuh yang melibatkan 4 komponen pengetahuan keterampilan sifat alamiah dan perasaan karena pikirn emosi imajinasi dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila system pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan maka perkembangan intelektual, social dan karakter anak, dapat terbentuk secara simultan.
5. Belajar menyenangkan, system pembelajaran terpadu berbasis karakter
Sekolah seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk belajar, sehingga mereka dapat belajar mengembangkan kemampuan dan bakatnya secara optimal. Menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, akan membentuk karakter yang kreatif, motivasi tinggi untuk terus mencari tahu, rasa tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya serta sikap kerja keras dan pantang menyerah.
Salah satu aspek dari system DAP adalah dengan mengembangkan kurikulum pembelajaran terpadu agar anak-anak dapat menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat memberi alternative solusi, menghargai perbedaan, dapat bekerjasama, dan dapat menjadi insan yang peduli.
Keunggulan lain dari system pembelajaran terpadu adalah dapat membiasakan anak sejak usia dini untuk berpikir secara holistic, tidak berfikir fragmented, atau melihat masalah dari satu sisi saja.
Sekolah seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk belajar, sehingga mereka dapat belajar mengembangkan kemampuan dan bakatnya secara optimal. Menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, akan membentuk karakter yang kreatif, motivasi tinggi untuk terus mencari tahu, rasa tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya serta sikap kerja keras dan pantang menyerah.
Salah satu aspek dari system DAP adalah dengan mengembangkan kurikulum pembelajaran terpadu agar anak-anak dapat menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat memberi alternative solusi, menghargai perbedaan, dapat bekerjasama, dan dapat menjadi insan yang peduli.
Keunggulan lain dari system pembelajaran terpadu adalah dapat membiasakan anak sejak usia dini untuk berpikir secara holistic, tidak berfikir fragmented, atau melihat masalah dari satu sisi saja.
6. Pendidikan karakter yang sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak
Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental dan social anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Misalnya, usia anak SD tidak dapat diharapkan untuk mempunyai pemahaman rasional yang dikaitan dengan tujuan menjaga keutuhan sebuah system social dengan cara yang abstrak. Proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit (membaca buku cerita, permainan, music dan menyanyi,dan sebagainya). Menurut seorang psikolog Lawrence Kohlberg, seseorang yang menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman adalatingkatan moral yang paling rendah. Sedangkan tingkatan moral yang paling tinggi adalah ketika seseorang mempunyai pemahaman rasional tentang-tentang prinsip-prinsip moral universal agar kelangsungan hidup sebuah system masyarakat dapat dipertahankan. Thomas lickona mengatakan bahwa seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata ntuk mempertahankan sebuah system social kemasyarakatannya, belum tentu mempunyai tingkata moral tertinggi. Menurutnya, bisa saja sebuah sistem social mempengaruhi individu untuk bersikap buruk (misalnya mengajak untuk berperang untuk membom Negara lain, walaupun harus membunuh banyak orang-orang yang tak berdosa). Menurut Lickona seseorang yang mempunai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat mempertahankan prinsip-prnsip moral yang menghargai hak azasi manusia, alaupun harus berseberangan dengan system sosialnya yang buruk.Untuk mencapai tingkatan moral tertinggi, beberapa pakar telah menyusun tahapan-tahapan perkembangan moral individu, yang sebetulnya satu sama lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun di sekolah harus harus disesuaikan dengan tahaan perkembangan moral anak agar pendekatannya sesuai. Dengan mengacu pada tahapan-tahapan ini dapat diharapkan seseorang dapat mencapai tingkatan moral tertinggi. Namun tidak semua orang dapatmencapai fase tahapan moral tertinggi walaupun umurnya sudah jauh melampaui batas yang bisa dicapai. Seorang dewasa bisa saja tahapan moralnya masih pada tahapan moral yang dicapai anak usia dibawah 8 tahun.
Tampaknya untuk mencapai tahapan moral tertinggi seseorang harus berkemban hati nuraninya, yaitu yang mempunyai motto “saya harus setia kepada kebenaran universal”. Bukan kebenaran menurut “saya pribadi”, atau menurut “pemimpin”, atau “kelompok”. Walaupun tindakannya melawan hokum atau undang-undangyang berlaku (misalnya menolak membela Negara kalau Negara salah, atau menolak membayar pajak kalau uang pajak dikorupsi atau digunakan untuk membiayai perang), mereka ini tetap kuat mempertahankan prinsip kebenaran dan bersikap adl keoada seuruh manusia tanpa pandang bulu. Menurut banyak pakar, hanya sedikit sekali orang yang mencapai tahapan ini.
Hati nurani bisa tumbuh kalau sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebajikan. Seperti sudah diungkapkan sebeumnya, bahwa emosi atau kanan adalah ibarat otot, kalau tidak dibiasakan berfungsi maka akan menjadi lmpuh atau tidak berfungsi. Oleh karena itu, metode pendidikan karakter yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat membantu anak untuk mencapai tahapan moral tertinggi.
Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental dan social anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Misalnya, usia anak SD tidak dapat diharapkan untuk mempunyai pemahaman rasional yang dikaitan dengan tujuan menjaga keutuhan sebuah system social dengan cara yang abstrak. Proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit (membaca buku cerita, permainan, music dan menyanyi,dan sebagainya). Menurut seorang psikolog Lawrence Kohlberg, seseorang yang menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman adalatingkatan moral yang paling rendah. Sedangkan tingkatan moral yang paling tinggi adalah ketika seseorang mempunyai pemahaman rasional tentang-tentang prinsip-prinsip moral universal agar kelangsungan hidup sebuah system masyarakat dapat dipertahankan. Thomas lickona mengatakan bahwa seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata ntuk mempertahankan sebuah system social kemasyarakatannya, belum tentu mempunyai tingkata moral tertinggi. Menurutnya, bisa saja sebuah sistem social mempengaruhi individu untuk bersikap buruk (misalnya mengajak untuk berperang untuk membom Negara lain, walaupun harus membunuh banyak orang-orang yang tak berdosa). Menurut Lickona seseorang yang mempunai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat mempertahankan prinsip-prnsip moral yang menghargai hak azasi manusia, alaupun harus berseberangan dengan system sosialnya yang buruk.Untuk mencapai tingkatan moral tertinggi, beberapa pakar telah menyusun tahapan-tahapan perkembangan moral individu, yang sebetulnya satu sama lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun di sekolah harus harus disesuaikan dengan tahaan perkembangan moral anak agar pendekatannya sesuai. Dengan mengacu pada tahapan-tahapan ini dapat diharapkan seseorang dapat mencapai tingkatan moral tertinggi. Namun tidak semua orang dapatmencapai fase tahapan moral tertinggi walaupun umurnya sudah jauh melampaui batas yang bisa dicapai. Seorang dewasa bisa saja tahapan moralnya masih pada tahapan moral yang dicapai anak usia dibawah 8 tahun.
Tampaknya untuk mencapai tahapan moral tertinggi seseorang harus berkemban hati nuraninya, yaitu yang mempunyai motto “saya harus setia kepada kebenaran universal”. Bukan kebenaran menurut “saya pribadi”, atau menurut “pemimpin”, atau “kelompok”. Walaupun tindakannya melawan hokum atau undang-undangyang berlaku (misalnya menolak membela Negara kalau Negara salah, atau menolak membayar pajak kalau uang pajak dikorupsi atau digunakan untuk membiayai perang), mereka ini tetap kuat mempertahankan prinsip kebenaran dan bersikap adl keoada seuruh manusia tanpa pandang bulu. Menurut banyak pakar, hanya sedikit sekali orang yang mencapai tahapan ini.
Hati nurani bisa tumbuh kalau sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebajikan. Seperti sudah diungkapkan sebeumnya, bahwa emosi atau kanan adalah ibarat otot, kalau tidak dibiasakan berfungsi maka akan menjadi lmpuh atau tidak berfungsi. Oleh karena itu, metode pendidikan karakter yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat membantu anak untuk mencapai tahapan moral tertinggi.
7. Bekerjasama dengan orang tua murid (co-parenting)
Orang tua murid harus menjadi partner dalam membentuk karakter anak, bahkan mempunyai peran utama. Sekolah yang menjalankan pendidikan karakter harus mempunyai rencana yang jelas tentang kegiatan yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar pembentukan karakter anak dapat terwujud.
Sekolah dapat melakukan seminar atau workshop untuk meningkatkan kesadaran para orang tua murid dan melibatkan mereka dalam kegiatan pendidikan karakter.
Hal lain yang dapat dilakukan adla dengan memberikan pekerjaan rumah yang dapat dikerjakan bersama antara orang tua, dan anaknya di rumah; misalnya membaca atau membuat puisi tentang topic tertentu, membaca buku cerita yang topiknya ditentukan, dan sebagainya. Cara ini dapat mengajak seluruh orang tua murid untuk dapat terlibat dalam pendidikan karakter anak-anaknya. Atau pihak sekolah dapat mengirimkan booklet mengenai tips-tips penting yang berkaitan dengan pendidikan karakterdan atau membuat bulletin atau newsletter yang bertemakan karakter dan disebarluaskan kepada orang tua.
Sekolah dapat melakukan seminar atau workshop untuk meningkatkan kesadaran para orang tua murid dan melibatkan mereka dalam kegiatan pendidikan karakter.
Hal lain yang dapat dilakukan adla dengan memberikan pekerjaan rumah yang dapat dikerjakan bersama antara orang tua, dan anaknya di rumah; misalnya membaca atau membuat puisi tentang topic tertentu, membaca buku cerita yang topiknya ditentukan, dan sebagainya. Cara ini dapat mengajak seluruh orang tua murid untuk dapat terlibat dalam pendidikan karakter anak-anaknya. Atau pihak sekolah dapat mengirimkan booklet mengenai tips-tips penting yang berkaitan dengan pendidikan karakterdan atau membuat bulletin atau newsletter yang bertemakan karakter dan disebarluaskan kepada orang tua.
8. Prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah
Langkah terakhir adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip penerapan pendidikan karakter. Character Education Quality Standards merekomendaikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut:
§ mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
§ mengidentifikasikan karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku
§ mengguanakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
§ menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
§ memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik
§ memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses
§ mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para siswa
§ memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter yang setia kepada nilai dasar yang sama
§ adanya pembagian kepimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
§ memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
§ mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa
2.6 Kiat-kiat menjadi pendidik karakter yang berhasil
1. Guru sebagai pembangun citra diri positif anak
2. Guru sebagai model atau tokoh idola
3. Mendidik dengan mencelupkan diri
4. Guru yang penuh inspirasi
5. Menebar benih kebajikan tanpa pamrih
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan landasan teori dan pembahasan yang terurai ditas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Cukup beralasan bila Pendidikan karakter bangsa dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan-alasan itu adalah karena meningkatkan akhlak luhur para siswa adalah tanggung jawab semua guru, semua guru harus menjadi teladan yang berwibawa, tujuan utuh pendidikan adalah membentuk sosok siswa secara utuh, pencapaian pendidikan harus mencakupi dampak instruksional dan dampak pengiring.
2. Implementasi Pendidikan karakter bangsa terintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan center core pada mata pelajaran yang akan dibelajarkan.
3. Proses pengembangan Pendidikan karakter bangsa sebagai pembelajaran terpadu harus diproses seperti kuriklum lainya yaitu sebagai ide, dokumen, dan proses; kejelian profesional dan penguasaan materi; dukungan pendidikan luar sekolah; arahan spontan dan penguatan segera; penilaian beragam; difusi, inovasi dan sosialisasi adalah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam pencanangan pembelajaran terpadu Pendidikan karakter bangsa.
3.2 Saran-Saran
1. Keterpaduan pendidikan karakter adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan karakter diharapk menjadi kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya
2. Lingkungan sekolah yang positif membantu membangun karakter. Untuk itu benahi lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang positif.
3. Guru harus disiplin lebih dulu siswa pasti akan mengikuti disiplin
Daftar Rujukan
Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7
Degeng, S Nyoman,1989,Taksonomi Variabel , Jakarta, Depdikbud.
Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id
Hasan, S. Hamid. 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan
Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya
Joni, T. Raka. 1996. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Dirjen Dikti Bagian Proyek PPGSD.
Mulyana, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi, Burhan Yasin, Agus Genad Senduk, 2004, Pendekatan Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, Malang,Universitas negeri Malang.
Waridjan. 1991. Tes Hasil Belajar Gaya Objektif. Semarang: IKIP Semarang Press.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami