Iklan

Iklan
Advertorial
News Update :

Tentang Seorang Wanita

Rabu, 01 Februari 2012

Ada sebuah cerita. Sebuah suara samar mengusik tidur wanita itu. Menerobos halus celah gendang telinga, dan perlahan membawanya dari alam mimpi menuju keterjagaan raga. Namun matanya masih terpejam dalam kantuk yang masih menggelayut dalam. Tak ingin ia hirau akan suara yang masih samar terdengar. Tapi sekian detik kemudian suara itu semakin terang dalam keterjagaan telinganya sekarang.
“Tsabita.. Tsabita..”
Tiba-tiba saja matanya mengerjap terjaga dengan begitu cepatnya. Kantuk yang mengikatnya dalam lelapnya mimpi, bertolak kilat meninggalkannya. Salah dengarkah ia? Mimpikah? Sambil mencubit tangannya, dia amati wajah teduh pemilik suara. Perempuan itu tidak bermimpi. Dia dalam keterjagaan yang sempurna.
“Tsabita…” Nama itu kembali terucap dari lelaki di sampingnya. Begitu lirih. Begitu dalam. Begitu.., ah tak mampu ia menggambarkannya.
Wanita itu tercekat. Airmata begitu saja menderas dari kedua matanya. Dadanya teramat sesak. Bumi seakan ditindihkan di atasnya. Rasa sakit yang begitu dalam menjajah hatinya. Sakit. Sakit sekali. Sakit yang takkan bisa dilukis dengan sempurna oleh kata. Dia mencoba menguasai dirinya. Tapi ia gagal. Isaknya semakin menjadi. Tubuhnya berguncang menahan keterguguan. Kemudian dengan bersegera ia meninggalkan tempat tidurnya. Khawatir jika lelaki pemilik sumber suara itu terbangun karenanya.
Kran ia nyalakan. Suara air bergemericik mengalahkan isaknya. Dia terduduk lunglai di sana. Di dalam kamar mandi yang berada di luar kamar tidurnya. Maka menjadilah tangisnya. Yang dengannya, ia ingin mengeluarkan segala bongkah-bongkah pengganjal perasaannya. Ia ingin menjadikan air matanya itu sebagai hujan yang mengurai habis gumpalan mendung kelam yang ada di hatinya.
Setelah seperempat putaran jam, barulah ia mulai bisa mengendalikan dirinya. Kejernihan hati mulai mengikis masuk dalam kebuntuan akal yang tadi rapat tertutup jerat emosi kewanitaannya. Perlahan ia beranjak mendekati kran. Menangkupkan kedua telapak tangannya dalam dingin dan sejuknya air wudhu di pertengahan malam itu. Khusyu’ ia basuhkan air itu di wajahnya. Ia biarkan dinginnya meresap hingga ke dalam hatinya. Ia ingin membuang segala perasaan marah, sedih, kecewa dalam tetesan air suci yang mengurai dari setiap pori anggota wudhunya.
Dan kini wanita itu tersungkur dalam sujud panjangnya. Isakan itu menjadi lagi.
“Subhaana Rabbiyal a’laa.. Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.. Maha Suci Engkau Ya Rabb.. Sungguh wanita penuh dosa ini kembali lagi mencari kesempurnaan dalam mata air Kesucian-Mu.. Dan dalam kekerdilan dan kerapuhan diri ini, izinkan hamba berlindung dalam Ketinggian dan Kesempurnaan cinta yang utuh menjadi milik-Mu..”
Setelah salam dilafadzkan. Tertengadah kedua tangannya mengharap kucur Cinta-Nya. Tangan itu bergetar hebat seakan tak mampu menangkup doa yang diucap oleh lisannya dalam keterbataan isak kata.
“Ya Rabbiy, Wahai Dzat Pemilik hati dan jiwa ini.. Hamba berserah pasrah kepadamu. Terhadap urusannya. Terhadap hatinya. Karena hanya Engkau yang berhak mengaruniakan cinta. Walaupun seluruh manusia mengeluarkan perbendaharaan hartanya untuk membantuku menebus cinta lelaki itu,, maka hamba tahu hal itu mustahil tanpa kehendak-Mu..”
“Ya Rahman, sungguh hamba telah menjadikan Engkau sebagai wali dari setiap urusan hamba.. Hamba bermohon dengan segala Kemahabesaran-Mu agar Engkau berkenan melapangkan hati hamba.. Menyamuderakan cinta hamba.. Meluaskan kemaafan dan kesyukuran hamba.. Hingga hamba sanggup menerima segala beban penggelayut jiwa ini dengan segala sikap dan amalan yang Engkau Ridhoi saja.. Tanpa dengan kecemburuan yang membuta..Tanpa dengan kemarahan yang membara.. Tanpa dengan kekecewaan yang mematikan rasa.. Dan dengan tanpa mengurangi bakti dan kecintaan hamba pada suami hamba..
Ridhokan hamba atas apa yang mampu ia berikan pada hamba. Jangan jadikan hamba wanita yang tidak bisa mensyukuri pemberiannya. Berikan hamba kecintaan terhadap apa yang menjadi kecintaannya.. Berikan hamba kecintaan terhadap apa yang menjadi kecintaannya.. Berikan hamba kecintaan terhadap apa yang menjadi kecintaannya..” Tercekat suara wanita itu. Ia biarkan air matanya meneruskan setiap doa yang masih ingin ia panjatkan setelahnya.. Dan tanpa sadar ia pun tertidur dalam kelelahan jiwa raga.
Suara alarm dari kamar tidurnya membangunkan wanita itu untuk kali kedua. Dia pun beranjak dari mushalla kecilnya dan bersegera menuju kamarnya. Lelaki yang telah menjadi suaminya selama hampir empat tahun itu masih pulas tertidur di sana. Terlalu lelah sepertinya, hingga suara alarm tak berhasil membangunkannya seperti sepertiga malam lainnya.
Wanita itu menatap dalam-dalam ke wajah itu. Air mata yang ingin menyeruak, ia tahan sekuatnya. Ia takkan menangis di depan imamnya. Lelaki luar biasa. Lelaki terbaik yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Yang dalam tiga tahun masa panjang pernikahannya tak pernah sedikit pun kata-kata kasar meluncur dari bibirnya. Yang selalu menjaganya dengan penjagaan sempurna. Yang selalu menerima segala kekurangannya tanpa menghakimi dan mencari pembandingnya. Yang menumbuhkannya dengan ilmu dan menuntunnya untuk selalu menjadi muslimah yang semakin dewasa keimanannya dan semakin indah akhlaqnya dari waktu ke waktu.
Wanita itu ingin selalu mensyukuri setiap hal yang suaminya telah beri. Ia tahu bahwa suaminya senantiasa mengusahakan yang terbaik untuknya. Apapun segala kebaikan yang bisa diberikan oleh lelaki itu, selama ini telah ia terima dengan sempurna. Namun malam ini wanita itu terantuk pada kenyataan, bahwa hati lelaki itu bukanlah untuknya. Kecintaan lelaki itu bukanlah miliknya. Walaupun sesaat lalu dia masih dalam keyakinan bahwa dialah ratu hati lelaki itu. Yang kemudian baru saja ia tersadar bahwa itu hanyalah fatamorgana semu.
Tsabita..
Perempuan masa lalu itu ternyata masih menempati ruang tertinggi di hati lelaki berwajah teduh ini. Perempuan yang namanya tidak pernah tersebut dalam lisan suaminya di waktu sadarnya selama masa panjang bilangan tahun pernikahannya. Perempuan yang ia yakini bahwa suaminya telah mengusahakan segala hal yang bisa ia lakukan untuk mengeluarkannya dari hati, agar hanya ia satu-satunya wanita yang menempati singgasana dalam jiwa si lelaki. Dan wanita itu sadar, bukan salah suaminya jika pada akhirnya ia tidak mampu. Bukan salah lelaki itu jika cinta untuk perempuan itu masih melekat dengan erat di palung sukmanya. Sungguh bukan salahnya. Karena hak Dia seutuhnya untuk mengaruniakan cinta kepada apa dan sesiapa yang menjadi Kehendak-Nya.
Yah, rasa sakit itu ada. Kecemburuan yang begitu dalam pun telah sangat menyiksanya. Namun wanita ini segera tersadar, bahwa dulu sebelum ia menerima pinangan si lelaki, ia telah mengetahui resiko ini. Lelaki ini berkata jujur padanya akan semua masa lalunya sejak awal kedatangannya. Dan waktu itu, wanita ini telah menyalakan azzam untuk menerima segala konsekuensi atas pilihannya. Dan kini saatnya ia harus membuktikan semuanya.
Perlahan ia dekati sosok itu. Ia cium keningnya. Takzim. Sebagaimana suaminya selalu melakukannya saat membangunkannya. Lelaki itu membuka matanya. Tersenyum padanya. Perlahan bangkit dari posisi tidur dan berdiri menjajari istrinya.
“Yah, keduluan Ummi deh bangunnya. Afwan ya Sayang..” canda lelaki itu sambil meraih kepala istrinya. Membalas mencium kening wanita itu.
“Ga papa juga dong sekali-kali Ummi yang dapat pahala membangunkan. Masa Abi terus yang memborong pahala..” wanita itu tersenyum manja, menggelayut tangan suaminya.
“Yee, ga mau kalah ni ceritanya? Baiklah, besok-besok Ummi terus aja deh yang bangunin. Abi sih rela-rela aja setiap pagi dibangunkan oleh kecupan seorang bidadari..” sambil mengelus kepala istrinya.
“Ogah ah. Ntar Abi ngrasa jadi sleeping beauty lagi. Eh sleeping handsome ding.. hehe.. ”
“And the beast.. hehehe..” Mereka tertawa bersama
“Eh Mi, Ummi habis nangis? Matanya kok sembab gitu?” Lelaki itu tiba-tiba menghentikan tawanya.
Wanita itu diam sejenak. Berpikir bagaimana harus menjawabnya. Tapi senyumnya masih ia kembangkan, untuk menutupi segala kebingungan.
“Yah ketahuan ya? Iya Bi, Ummi tadi udah mencuri start shalat malam duluan. Tapi baru 2 rakaat kok. Ummi menangis karena Ummi tiba-tiba tersadar, betapa baiknya Allah sama Ummi. Mengaruniakan seorang lelaki luar biasa.. Lelaki surga.. Ah udah Bi, buruan ambil wudhu gih..”
“Hffh.. Abi yang harus jauh lebih banyak bersyukur kepada Allah Mi.. Karena Allah telah mengizinkan Abi untuk didampingi seorang wanita yang sebaik dan seindah Ummi..” Menatap dalam-dalam ke mata wanita itu. Kemudian sekali lagi mencium keningnya dan segera beranjak mengambil air wudhu.
Di sepertiga malam terakhir itu, wanita tersebut meminta imamnya agar membaca surat Ar-Rahman. Fabiayyi aalaa-I rabbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Seiring berulangnya kalimat itu dilafadzkan, semakin tergugu mereka berdua tenggelam dalam kedalaman maknanya. Semakin mereka merasa begitu kecil di hadapan Rabb-Nya. Hingga sebelum selesai surat itu dibaca pada rakaat pertama, lelaki itu sudah kehilangan suaranya. Tertelan oleh airmata yang mengalir tanpa bisa ditahannya. Membanjir memenuhi tenggorokannya. Dan akhirnya mereka berdiri dalam diam. Hanya isak mereka berdua yang terdengar semakin keras mengguncang.
Ya Rabb, ampuni kesyukuran kami yang hanya setetes saja, padahal Engkau telah memberikan kami nikmat yang luas menyamudera… Maafkan Ya Rahman.. Maafkan.. (Qana-atul Qonithah/ Dakwatuna.com

Tabir Pesona Kemuliaan Wanita

Maha Indah Allah yang telah menempatkan manusia di hamparan pelangi cinta dan taman kasih sayang-Nya dengan kenikmatan-kenikmatan yang tak dapat dihitung telah berapa banyak yang Allah berikan kepada manusia.
Maha Mulia Allah yang telah mensinergikan segala potensi kebaikan yang ada pada diri manusia untuk memberikan yang terbaik bagi hamba-hambaNya yang ada di hamparan pelangi cinta dan taman kasih sayang-Nya. Teriring shalawat serta salam semoga selalu senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita yaitu Rasulullah SAW, para keluarga, para sahabat dan umatnya yang senantiasa dengan baik mengikuti jejak sunnahnya hingga hari akhir nanti. Allahumma Amin.

Anda, dengan keindahan fisik yang Anda miliki, lebih indah daripada mentari. Anda, dengan kedermawanan yang Anda miliki, lebih terang dari cahaya matahari. Anda, dengan akhlak yang Anda miliki lebih harum daripada kesturi. Anda, dengan kesabaran yang Anda miliki lebih dalam dari lautan. Anda, dengan kerendahhatian yang Anda miliki, lebih tinggi daripada rembulan. Anda, dengan sifat kasih sayang yang Anda miliki, lebih menyegarkan daripada hujan. Karena itu, peliharalah keindahan fisik itu dengan iman, peliharalah keridhaan itu dengan sikap qana’ah dan peliharalah kesuciaan diri itu dengan hijab.

Ungkapan ini tampaknya dilatarbelakangi oleh berkembangnya banyak persepsi salah tentang tolak ukur pesona kemuliaan seorang wanita. Pernyataan ini merupakan satu upaya untuk menolak berbagai syubhat berbahaya yang sudah menyentuh wilayah akidah. Yaitu, adanya anggapan bahwa dengan fisik indah, seorang wanita akan mampu meraih kemuliaan dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Anggapan ini tidak bersumber dari ajaran agama Islam. Sebab, kemuliaan seorang wanita tidak terletak pada keindahan fisik wanita tersebut, keelokan tubuh, keindahan wajah dan banyaknya perhiasan. Dalam Islam ketiga hal tersebut adalah fitnah (ujian) bagi seorang wanita yang bukan saja bisa membawanya menuju kemuliaan, tapi juga bisa menghantarkan dirinya ke lembah kehinaan. Kenyataannya, tidak sedikit manusia yang terjebak dengan anggapan bahwa keindahan fisik adalah segala-galanya. Mereka menganggap bahwa kemuliaan dan kebahagiaan akan didapat bila berwajah cantik, kulit yang putih dan tubuh yang elastis. Maka tidak aneh kalau banyak ditemukan para wanita mati-matian memperindah fisiknya dengan cara mengoperasi plastik wajahnya, menghambur-hamburkan berjuta-juta uang demi mengejar popularitas. Bagi yang tidak mampu, mereka menjadi rendah diri dan merasa tersingkir dari pergaulannya.

Padahal keindahan fisik tidak dapat dijadikan tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Lebih jauh lagi, semua itu tidak bisa menjamin seseorang akan bahagia. Banyak juga wanita yang terjerumus pada penuhanan materi. Bagi mereka, materi adalah harga diri dan segala-galanya. Dengan anggapan itu mereka mau melakukan apapun untuk bisa meraihnya, bahkan tubuhnya pun dengan mudah dapat dikorbankan. Dalam konteks ini, mereka bukannya jadi terhormat, justru bernilai rendah di hadapan Allah SWT. Di satu sisi mereka bersikap mendua, mengakui Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan, tetapi pada saat yang sama mereka menuhankan fisik dan materi. Di sisi lain, pengorbanan mutiaranya akan membuat orang yang melihatnya tidak menghormati mereka.

Pengaruh Media Massa

Kenyataan ini tidak bisa lepas dari pengaruh media massa, baik cetak maupun elektronik. Kekuatan media massa terletak pada pengaruhnya untuk membentuk opini ummat. Dengan intensitas yang begitu ketat, media massa terutama televisi bukan saja menawarkan hiburan tapi juga secara tidak langsung telah menawarkan nilai, budaya dan prinsip hidup. Secara perlahan tapi pasti, sajian televisi yang asalnya menjadi tontonan saja berubah menjadi tuntunan penontonnya, padahal tidak semua sajian televisi menawarkan nilai yang sama dengan penontonnya. Kondisi yang terburuk adalah ketika sajian televisi menjadi pengendali tren di berbagai aspek kehidupan seperti pola pikir, tingkah laku, dan akidah sehingga semua yang ada di televisi menjadi patokan penontonnya dalam kehidupan nyata.

Tampaknya sajian televisi yang begitu mengaggungkan seorang wanita yang memiliki keindahan fisik telah mempengaruhi persepsi kebanyakan masyarakat yang melihatnya. Padahal itu semua salah dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Di dalam Al-Qur’an, Allah telah menyatakan bahwa tolak ukur kemuliaan itu adalah ketakwaan bukan keindahan fisik. Firman-Nya, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” ( Q.S.Al-Hujurat : 13 ). Ketakwaan itu ada di dalam hati. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah S.AW bahwa “sesungguhnya Allah SWT tidak melihat seseorang dari bentuk tubuhnya tapi melihat hati dan amalnya”.

Meraih Kemuliaan

Sesungguhnya kemuliaan seorang wanita dapat diraih manakala ia memiliki kemampuan untuk menjaga martabatnya dengan iman, menerima dan mensyukuri semua karunia yang telah Allah berikan, menghijab dirinya dari kemaksiatan, menghiasi semua aktifitasnya dengan ibadah dan memberikan yang terbaik terhadap sesama.

Seorang wanita yang mampu melaksanakan semua itu akan mulia di hadapan Allah dan terhormat di hadapan manusia. Sejarah mencatat bahwa di dunia Islam, sudah sejak dulu banyak muncul para wanita mulia yang mendapatkan tempat terhormat di tengah-tengah umat hingga kini. Seperti, Siti Khadijah RA yang namanya terus berkibar sampai sekarang, bahkan setiap anak wanita dianjurkan untuk meneladaninya. Terkenalnya seorang Siti Khadijah bukan karena kecantikan dirinya, namun karena pengorbanannya dalam mendukung perjuangan Rasulullah SAW mendakwahkan Islam, selanjutnya Siti Aisyah RA, salah seorang istri Rasulullah SAW dan juga seorang cendikiawan muda. Darinya para sahabat Rasulullah mendapat berbagai disiplin ilmu, seperti fikih dan tafsir.

Pada masanya, Siti Aisyah RA dihabiskan menjadi ulama, guru para sahabat Rasulullah. Masih banyak wanita-wanita mulia yang berkarya untuk umat pada masa-masa berikutnya. Keharuman dan keabadian nama mereka disebabkan oleh kemampuan mengembangkan kualitas diri, menjaga iffah (martabat) dan memelihara diri dari kemaksiatan. Sinar kemuliaan mereka muncul dari dalam diri yang dilandasi dengan hati yang tulus lagi suci bukan hanya fisik semata. Sinar inilah yang lebih kekal dan abadi. Bagi mereka, fisik hanya perhiasan dunia saja yang dalam waktu lama akan hancur dan binasa, sehingga fisik seperti apapun tidak bisa banyak memberikan kebahagiaan yang hakiki dan mempengaruhi kehidupan mereka.(*)

Kesempurnaan Seorang Wanita

Haruskah seorang perempuan merasa khawatir dan takut takkan cantik lagi usai mengandung dan melahirkan? Atau lebih ekstrim lagi, adakah perasaan takut ditinggal suami hanya karena proses alamiah itu? Proses yang dianggap akan merusak kesempurnaan tubuhnya sehingga sang suami takkan mampu terpuaskan lagi karenanya?

Namun benarkah seorang perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui bayi akan mengalami ketidaksempurnaan fisik lagi jika dibandingkan dengan semasa ia gadis dan atau sebelum mengandung dan melahirkan? Anggapan ini ada benarnya karena bagaimana pun juga beberapa bagian tubuh perempuan pasca melahirkan akan terasa mulai kendur. Tidak sekencang sebelum mengandung dan melahirkan seperti pada bagian vagina, perut, atau payudara. Namun anggapan seperti ini juga akan terasa sangat naif jika dijadikan alasan untuk tidak mau punya anak, tidak mau melahirkan secara normal, atau tidak mau menyusui anaknya dalam masa menyusui, apalagi perasaan akan ‘ditinggal’ oleh suami dan lain sebagainya.

Meski belum menikah dan merasakan sendiri bagaimana mengandung, melahirkan, serta mengalami ‘masa-masa kritis’ sebelum dan sesudah persalinan, saya seringkali merasakan dan melihat langsung bagaimana reaksi, kondisi dan perilaku seorang perempuan semasa hamil maupun yang baru melahirkan. Saya mengamati bagaimana mereka melewati ‘masa-masa kritis’ itu.

Salah satunya adalah mereka berpikiran bahwa dirinya tidak akan secantik dulu dan merasa tidak nyaman dengan bentuk tubuhnya yang tidak kencang lagi. Mungkin ini adalah salah satu dari ciri seorang perempuan yang mengalami baby blues, yakni perasaan campur aduk yang hadir pasca melahirkan yang terkadang tidak mengenakkan di hati.Semua perempuan—saya pikir—mempunyai potensi untuk mengandung dan melahirkan keturunan. Jadi, semua perempuan pasti akan mengalami perasaan resah dan gelisah sebelum maupun setelah melahirkan yang terkadang bisa membuat stress, bahkan depresi. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ia mampu melahirkan dengan normal, menjadi ibu yang baik bagi anaknya, mampu merawat anak dan suami di saat sulitnya secara bersamaan, tetap tampil cantik dan percaya diri dengan merawat diri sebelum dan sesudah melahirkan, akan terus mengganggu pikiran dan kondisi tubuhnya baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa membahayakan bagi diri dan calon bayinya jika tidak ditangani dengan serius.

Pengalaman menyaksikan seorang ibu yang terkena baby blues ini saya dapat dari kakak ipar saya. Istri kakak saya itu mengalami tiga kali masa kehamilan di rantau orang. Namun setiap hendak melahirkan selalu memilih pulang kampung. Semula kakak saya tidak setuju. Buat apa jauh-jauh pulang hanya untuk melahirkan kalau di rantau juga bisa?Namun kakak akhirnya mengerti alasan istrinya bahwa melahirkan di kampung sendiri yang notabene dekat dengan keluarga besar akan membuatnya merasa nyaman dan tidak perlu merasa takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ia pun tidak bisa membayangkan jika harus melahirkan di kota lain dan tanpa ditemani oleh keluarga besar meskipun suami dan adik-adik iparnya berada di sampingnya saat itu.

Hal ini sering saya anggap terlalu ‘berlebihan’, apalagi kakak ipar saya telah melahirkan sebanyak tiga kali dan setiap kali itu pula ia selalu memutuskan untuk melahirkan di kampung halaman. Kalau ia pulang hanya untuk melahirkan bayi pertamanya saja mungkin kami masih bisa memakluminya. Tapi ia telah melahirkan berkali-kali dan setiap kali itu pula ia harus pulang kampung! Saya pun kemudian menanyakan mengapa ia harus bersusah payah jauh-jauh pulang sedangkan rumah sakit dan fasilitas-fasilitasnya di kota tempat kami tinggal lebih lengkap jika dibandingkan dengan pilihannya untuk pulang kampung. Apalagi kami siap sedia berada di sampingnya untuk memberikan bantuan yang dapat kami lakukan semaksimal mungkin.

Ia pun kemudian memberikan alasan yang terus terang membuat saya agak terkejut. Ternyata di keluarga kakak ipar saya itu terdapat kebiasaan untuk ‘menyempurnakan’ tata cara dan perawatan pasca melahirkan dengan cara-cara tradisional yang biasa dilakukan oleh seorang dukun atau perempuan tua yang biasa menolong persalinan. Apa yang ia lihat dari pengalaman kakak-kakaknya yang telah lebih dulu menjalani perawatan seperti itu menurutnya adalah satu-satunya cara yang ideal dalam proses kehamilan dan melahirkan karena mendapatkan perawatan yang ‘paripurna’. Menurutnya lagi, proses persalinan seperti itu tidak akan membuat ia merasa kuatir akan kondisi tubuhnya pasca melahirkan. Misalnya ada perawatan-perawatan khusus yang dilakukan oleh dukun itu serta ramuan-ramuan obat tradisional tertentu yang harus dikonsumsi oleh seorang perempuan yang baru melahirkan yang tidak bisa ia dapatkan bila ia melahirkan jauh dari kampung halaman. Perawatan-perawatan ini sangat ia percaya akan menjaga bentuk tubuh dan kulit, menguatkan serta mengencangkan kembali bagian-bagian tubuh yang vital agar bisa kembali ke bentuk semula.Namun yang lebih penting dari perawatan itu adalah menjaga bentuk tubuhnya tetap fit dan cantik, sehingga suami tidak akan mengeluh tentang perubahan dan pengenduran bentuk dan bagian-bagian tubuh pasca melahirkan. Jika tidak mendapatkan perawatan yang baik akan mengakibatkan ia tidak bisa ‘memuaskan’ suami lagi dan yang lebih parah jika si suami malah berpaling pada perempuan lain. Kenyataan seperti inilah yang seringkali disaksikan oleh kakak ipar saya dalam beberapa kasus yang terjadi di sekelilingnya maupun hanya berupa cerita dari mulut ke mulut hingga menimbulkan trauma tersendiri baginya.

Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak—meskipun saya tahu suaminya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu—mempunyai rasa pengertian yang dalam bahwa proses menanti kelahiran anak, sejak mengandung, melahirkan dan merawatnya adalah suatu proses alamiah yang telah dianugerahkan Tuhan pada manusia yang patut disyukuriKarena proses ini adalah suatu proses alamiah dan merupakan suatu anugerah terbesar bagi seorang perempuan, maka sudah selayaknya jika dalam menghadapi proses ini seorang perempuan tidak dihantui oleh perasaan kuatir apalagi takut bahwa dirinya tidak akan ‘sempurna’ lagi.Tindakan yang dialami oleh kakak ipar saya di atas tidaklah salah dengan mengambil keputusan untuk melahirkan di kampung halaman sendiri. Namun alasan bahwa bentuk tubuh perempuan tidak akan sempurna lagi pasca melahirkan dan bisa mengakibatkan seorang suami meninggalkan istrinya harus dibuang jauh-jauh. Tak ada yang perlu ditakutkan dalam menghadapi proses itu.

Hal ini tentu saja harus mendapat dukungan dari berbagai pihak utamanya keluarga untuk memberikan bantuan dan dukungan baik itu berupa materiil maupun psikis. Dan yang lebih penting lagi adalah pengertian yang dalam dari seorang suami bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dalam hal ini sang suami harus mampu memberikan rasa cinta dan kasih sayang tanpa batas. Dan bahwa rasa cintanya pada sang istri tidak akan berkurang atau hilang hanya karena bentuk tubuhnya telah berubah dan tidak sesempurna saat sebelum melahirkan. Hal ini akan membantu sang istri membuang jauh-jauh perasaan was-was dan takut yang berlebihan tadi.Seorang perempuan adalah makhluk yang istimewa di hadapan Sang Pencipta dengan dikaruniai perangkat untuk mengandung sebuah kecambah manusia dengan segala susah payahnya. Jadi, apakah seorang perempuan akan menjadi hina dan tersia-sia hanya karena bentuk tubuhnya telah berubah pasca melahirkan dan malah yang lebih buruk lagi ditinggal oleh suami? Perempuan terlalu mulia untuk mendapatkan perlakuan tidak adil seperti itu. Lihat dan perhatikanlah, bukankah puncak kesempurnaan dan kecantikan alamiah seorang perempuan justru terpancar pada saat ia baru saja melahirkan buah hatinya? Sungguh, Tuhan Maha Suci lagi Maha Memelihara.

Makna Kemuliaan Wanita

A. PENGANTAR
Wanita, menjadi bahan perbincangan yang  menarik untuk digali lebih jauh. Telah menjadi anggapan yang demikian lama dan disepakati oleh sebagian besar manusia di dunia, andaikata memperbincangkan tentang wanita adalah identik dengan membicarakan sejumlah kekurangan dan kelemahan. Wanita telah sedemikian rupa dinilai dan diperlakukan, hanya sebagai obyek dari sejumlah pelampiasan dan alat untuk memenuhi segenap hasrat, yang secara umum kesemuanya itu dilakukan oleh kaum lelaki. Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi, andaikata ummat manusia mampu membaca Al-Qur’an secara benar. Kemudian, secara bersungguh-sungguh mengamalkan pula Al-Qur’an di dalam kehidupan dunia ini.

Untuk dapat menjadi wanita yang terbebaskan dari poin-poin yang salah, Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia melalui empat kerangka: Pertama, kemampuan spiritualistik yang mendudukkan manusia ke dalam pola pengabdian; di sini yang dilihat adalah tingkat penghambaan yang dapat dilakukan berdasarkan kepada kondisi yang dimiliki. Kedua, kedudukan dan peranan sosial yang dapat dilakukan; terkait kemampuan dalam mewujudkan atau mengupayakan struktur dan tantangan yang bersifat kemasyarakatan. Ketiga, kreativitas dan aktivitas dalam dimensi berkarakter khas;  dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan adanya kesamaan tujuan. Keempat, perbedaan yang terjadi adalah hanya sebuah cara untuk memberikan suatu kesempatan yang seluas-luasnya; sebab pada hakekatnya, di dunia ini tidak ada yang memiliki kesamaan mutlak,  yang ada hanyalah kemiripan belaka.

Dari keempat hal ini, paling tidak, diharapkan seluruh ummat manusia tidak memberikan pemahaman dan penilaian yang salah terhadap Islam: yakni dengan memposisikan kaum wanita sebagai mahluk lemah dan berada pada posisi kelas dua. Bahkan sebaliknya, Islam telah memuliakan para wanita.
B. KEMULIAAN WANITA DALAM ISLAM
Muslimah memiliki karakter yang dibentuk dari paling tidak oleh dua kemuliaan berikut: (1) Aspek jasmaniah dan (2) nilai keagamaan yang dianut. Kedua hal ini yang kemudian menjadikan muslimah  sangat berbeda dengan wanita-wanita non muslim. Melalui aspek jasmaniah, melahirkan suatu penampilan fisik yang mencerminkan nilai syariah; mulai dari penetapan jilbab sebagai cara berbusana, tidak bertabaruj dalam pergaulan, tidak berkomunikasi bebas dengan seorang lelaki kecuali apabila telah menjadi suaminya, hingga ke tata cara yang lebih prinsipil dan monumental, misalnya cara berumahtangga, mendidik anak, dan bermasyarakat. Sedangkan pada segi nilai keagamaan, dicirikan pada tatacara beribadah kepada Allah SWT, tingkat ketaqwaan yang dapat diraih, hingga menjadi tauladan bagi manusia-manusia lain di dalam kehidupan di dunia.
Berdasarkan karakter yang dimiliki para muslimah, maka diperoleh sejumlah kemuliaan sebagai berikut.
1. Selaku Perhiasan Dunia
Kehadiran wanita mempunyai peran dan pengaruh tersendiri di dalam kehidupan dunia. Akibat dari struktur jasmaniah, pola perilaku yang dimiliki dan kemampuan memperoleh segala sesuatu, mereka hadir memberi suasana tersendiri dan memiliki kelebihan tersendiri. Karenanya kemudian Islam memberikan posisi kepada muslimah, bahwa dirinya adalah perhiasan dunia (mata’un dunya). Terkait  dengan wanita sebagai perhiasaan dunia, hendaknya memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :
a. Sebuah tantangan dalam kehidupanMelalui posisi wanita sebagai perhiasan dunia, maka timbullah konsekuensi logis bahwa hal tersebut merupakan sebuah tantangan dalam kehidupan. Betapa tidak, selaku perhiasan dunia, muslimah dituntut untuk membuktikan sekaligus untuk mempertahankannya. Sehingga,  kehidupan dunia sejalan dengan kehendak Allah SWT, dan sesuai dengan karakteristik suci yang dimiliki pribadi-pribadi taat kepada-Nya semata. Muslimah diminta untuk benar-benar mewujudkan, bagaimana bentuk dan penjabaran dari kehidupan yang harus dijalani. Baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung, dalam pelbagai aspek kehidupan. Kadang-kadang hal tersebut, membuat mereka merasa sangat berat dan ingin meninggalkannya. Padahal untuk dapat melaksanakan hal tersebut, Allah SWT telah menyediakan beragam fasilitas dan cara, agar dapat dengan mudah dan bermanfaat dalam mencapainya.
b. Posisi di persimpangan jalan
Tidaklah ringan memikul suatu kehormatan. Apalagi dikaitkan dengan dimensi keagamaan, ketuhanan, dan kemuliaan hidup. Demikianlah yang dialami oleh muslimah dalam kedudukannya selaku perhiasan dunia. Sementara di sisi lain, selain adanya pengaruh eksternal yang demikian deras menggoda, ternyata dorongan-dorongan yang bersifat internal sering muncul. Akibatnya, muslimah sering berada di persimpangan jalan. Belum lagi jumlah wanita yang tidak ingin diberikan penghormatan selaku perhiasan dunia, sangatlah banyak dan terlihat enak kehidupannya dari pada muslimah yang senantiasa berupaya untuk mewujudkannya sebutan perhiasan dunia.
Dalam hal ini, paling tidak ada beberapa aspek yang dapat dijadikan penyebab. Pertama, antara wanita dengan keindahan kehidupan dunia tidak dapat dipisahkan;  sementara kehidupan dunia adalah permainan, kesenangan yang memperdayakan, dan senda gurau belaka. Kedua, manusia mudah dipengaruhi oleh posisi mayoritas, sehingga dalam kehidupan nyata yang tengah dialami, ukuran jumlah akan membuatnya berpaling dari hakikat dan tergeser ke dalam hal-hal yang bersifat sementara dan menyesatkan.
c.  Ketaqwaan sebagai indikasi
Taqwa adalah sebuah nilai puncak bagi suatu tujuan, ukuran, dan kerangka kehidupan manusia di dalam Islam. Dengan demikian maka akan membuat sangat sedikit orang yang dapat mencapainya. Inilah pula yang dijadikan indikasi, bagi setiap muslimah di dalam kedudukannya selaku perhiasan dunia.
Ketaqwaan ini merupakan sekumpulan sikap dan perilaku yang terbentuk secara holistik, juga didasarkan kepada nilai dan tingkat keimanan dengan secara bersinambung diuji berulang kali, bahkan dapat dijadikan sebagai tolok ukur mengenai kualitas kehidupan yang diraihnya. Maka melalui definisi taqwa, yaitu menjalankan semua perintah-Nya, akan tampak jelas di dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Karenanya, setiap muslimah akan mudah dilacak dan diamati, sejauh mana ia telah berfungsi selaku perhiasan dunia
2. Kesempatan melakukan amal bagi kehidupan
Sangat banyak dan sulit untuk dapat disebutkan secara persis, berapa dan bagaimana sumbangan yang dapat diberikan oleh muslimah bagi kehidupan. Tidaklah belebihan andaikata harus disebutkan, bahwa tidak ada artinya kehidupan ini tanpa kehadiran para muslimah. Secara umum bentuk-bentuk sumbangan yang dapat diberikan oleh kaum muslimah, terbagi menjadi paling tidak 4 (empat) klasifikasi, yaitu:
a. Pendamping seorang suami
Haruslah dapat dibedakan antara suami dengan lelaki. Lelaki masih bersifat umum dan dibatasi oleh sejumkah ketentuan antara halal-haram. Sedangkan suami adalah sosok manusia yang telah memiliki kemampuan melaksanakan amanah dari Allah SWT untuk dapat menjadi figur yang dapat mengokohkan eksistensi kelembagaan rumah tangga. Dikarenakan posisi semacam itu, suami akan berhadapan dengan sejumlah tanggung jawab dan konsekuensi. Betapa besar dan berat resiko yang akan dihadapinya kelak. Untuk itu tidak pelak lagi, muslim membutuhkan bantuan yang paling tidak dapat menyelami lautan permasalahan yang didihadapinya. Sosok yang dapat berbuat seperti itu, hanya akan dapat ditemukan pada figur seorang muslimah yang menjadi istrinya. Ialah yang begitu sangat dekat dan hampir senantiasa bersama-sama. Belum lagi ia adalah pribadi yang dapat mengetahui tentang hal ihwal suaminya.
Dengan demikian, keberadaan muslimah dan perhatian yang diberikan kepada suaminya, merupakan sejumlah sumbangan yang secara minimal membuat suami merasa tidak sendirian mengahadapi sejumlah tanggung jawab dan konsekuensi sebagai kepala keluarga. Belum lagi andaikata muslimah sebagai istrinya, turut mengambil alih sebagian dari apa yang diterima suaminya sebagai tugas kehidupan. Sehingga sangat wajar andaikata kemudian sering disebutkan, bahwa muslimah sebagai seorang istri adalah sosok yang berdiri di belakang layar terkait kemampuan dan keberhasilan suami, dalam menanggulangi segenap tugas yang dipikul pada pundaknya.
Lebih jauh, sumbangan-sumbangan yang dapat diberikan muslimah kepada suaminya adalah sebagai berikut : Pertama, membantu mewujudkan keutuhan diri selaku seorang lelaki dan kepala keluarga. Kedua, menemukan pemuasan terhadap pelbagai hasrat dan kebutuhan, yang harus dipenuhi sebagai manusia karena berjenis kelamin lelaki. Ketiga, memperoleh jaminan tentang kelangsungan hidup dan masa depan melalui keturunan yang lahir. Keempat, menunjang dalam menduduki posisi-posisi tertentu di masysrakat dan atau pemerintahan.
b. Perawat anak-anak
Tidak dapat disangkal lagi oleh siapa pun, andaikata dari pernikahan dan kehidupan berumahtangga, lahir anak-anak sebagai keturunan yang syah dan suci. Maka sosok yang yang paling awal merasakan, merawat, membesarkan, mendidik, dan berkorban adalah ibu atau istri dari ayah kandung bagi anak-anak tersebut.
Kehadiran anak-anak dan keberadaan mereka di antara sepasang suami-istri dan rumahtangganya, demikian berarti dan tak ternilai harganya. Mereka bagaikan intan atau mutiara, yang senantiasa disimpan secara ektra hati-hati dan senantiasa dilindungi, diawasi, dirawat dan menjadi kebanggaan yang tiada habis-habisnya. Tentunya menumbuhkan sejumlah konsekuensi dan tanggung jawab. Untuk itu, anak-anak harus memperoleh perhatian dan kasih sayang, supaya mereka terus tumbuh secara baik sejalan dengan harapan orang tuanya, sesuai dengan kedudukan dan peranan yang diterima dalam keluarganya.
Dalam melaksanakan berbagai tugas dalam merawat anak-anak, muslimah kembali tampil secara utuh. Betapa besar andil yang diberikan dalam perawatan anak, yang sebagian di antaranya adalah: Pertama, mengandung dengan masa yang panjang, beban yang kian memberat, pelbagai kesulitan yang ditemui, dan berada pada saat-saat kritis dalam kehidupan. Kedua, menyusui, merawat, mengasuh, mendidik pada waktu yang sangat lama. Ketiga, melepaskan anak-anak untuk bersama-sama suami atau istrinya.
c. Penghangat rumah tangga
Sebuah keluarga inti terdiri atas seorang suami, istri, dan anak. Dalam hidup berumah tangga, tentu terdapat sejumlah tugas yang harus dilaksanakan oleh anggota yang hidup dalam keluarga tersebut. Untuk itu, muslimah selaku seorang istri dituntut untuk banyak berada di dalam rumah, dikarenakan beberapa pertimbangan: Pertama, kehidupan rumah tangga yang eksistensinya sangat tampak dalam rumah tinggal, paling tidak membuat ada seseorang yang banyak berada di dalamnya, sebagai petunjuk yang menggambarkan keberadaan rumah tangga tersebut. Kedua, buah berumah tangga yang antara lain menuntut fasilitas perawatan yaitu satu dan atau lebih seorang anak, mesti didampingi sosok pribadi yang paling dekat dengan mereka yaitu ibu kandungnya. Ketiga, wakil keluarga yang paling cocok dan pantas bagi aktivitas interaksi, dalam kondisi tanpa ikatan yang ketat, sehingga dapat mendukung suasana kekeluargaan yang semarak, karena dilakukannya di rumah tinggal sebagai tempat yang representatif.
Melihat posisi-posisi sebagaimana telah disebutkan di awal, demikian besar sumbangan yang kelak diberikan oleh muslimah selaku seorang istri, andaikata ia lebih banyak waktu dan perhatian kerumahtanggaan dalam pengertian fisik ialah rumah tinggal. Sehingga suasana keluarga akan senantiasa hidup, dinamis, dan hangat. Jadi,  akan sangat janggal, jika kehidupan rumahtangga atau keluarga yang tidak memiliki istri dengan mempunyai banyak perhatian terhadap urusan-urusan yang tumbuh di dalamnya.
d. Pengokoh ummat
Apabila seorang muslimah atau muslim telah melakukan pernikahan dan berumah tangga, maka ia sebenarnya bukan saja memenuhi kebutuhan normal yang dimiliki. Juga telah melaksanakan hal-hal yang secara tidak langsung mengokohkan eksistensi ummat. Sebab, ia telah mampu menghindari sebagian ekses dari kehidupan tanpa menikah dan berumah tangga. Akibat dari seorang muslim terutama muslimah, yang menjadi pilar rumah tangga, ia telah mempersempit peluang tumbuhnya kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah SWT. Apabila terjadi perzinaan misalnya, maka sendi-sendi kemasyarakatan akan luruh dan bangunan ummat Islam akan menjadi porak poranda.
Apabila muslimah telah mengikhlaskan diri menjadi seorang istri, dan kemudian menjadi ibu dari anak-anak kandungnya. Sebenarnya ia telah menciptakan struktur dan konstruksi ummat Islam yang kian kokoh, dengan paling tidak menambatkan pengikat dengan tali yang sangat kuat dan suci serta menggandakan jumlah unsur individu dalam ruang cakupan ummat Islam.
C. KISAH  WANITA DALAM AL-QUR’AN
Muslimah memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan para wanita non muslim. Pemuliaan terhadap muslimah oleh Islam, tidak terbatas pada konsep-konsep didasarkan kepada fungsi dan peranan, melalui pelbagai aktivitas dan konsekuensi yang diterima, tetapi lebih jauh lagi yaitu melalui medium yang lebih sakral ialah kitab suci al-Qur’an, sebagai kumpulan wahyu Allah SWT.
 Hal ini menunjukkan bahwa secara langsung Allah SWT memberikan sikap memuliaan ini kepada muslimah, dengan menyatukan dimensi kekuasaan dan kesucian. Suatu hal yang sangat luar biasa dan tidak ada tolok ukur sebagai bandingannya. Tidak mungkin ditemukan pada konsep kehidupan atau ajaran keagamaan tertentu, selain hanya pada agama Islam sebagai agama satu-satunya di sisi Allah SWT dan yang diridlai-Nya. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu kesadaran dan perangsang peningkatan aktivitas, yang ditujukan sebagai ungkapan rasa terimakasih dan pemeliharaan diri seorang muslimah. Baik bagi kepentingan dirinya sendiri, suami, keluarga inti, keluarga besar, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
Paling tidak ada tiga cara kitab suci mengungkapkan perihal muslimah, dengan memanfaatkannya dalam istilah untuk sebutan surat, judul dari surat dan penyebutan nama dari muslimah. Pertama, penggunaan sebutan ibu atau ummu (meneguhkan status bagi muslimah), bagi surat yang merupakan inti dari kitab suci yaitu surat al-Fatihah: disebutkan sebagai Ummul Kitab. Mengisyaratkan bahwa muslimah sebagai ibu akan merupakan inti atau pokok atau sumber dalam pelbagai posisi. Kedua, sebutan sebagai status dari jenis kelamin wanita, yaitu an-Nisaa dalam sebuah judul surat yang berisikan perihal kehidupan pernikahan, keluarga, masyarakat dan negara. Merupakan suatu isyarat, bahwa selaku makhluk Allah SWT yang berjenis kelamin, muslimah memegang peranan penting dalam kehidupan pernikahan hingga ke masalah kenegaraan. Ketiga, memakai nama seorang muslimah, yakni Maryam, baik untuk sebuah judul surat maupun sosok pribadi teladan. Menggambarkan bahwa selain tuntutan Islam kepada muslimah adalah benar, juga telah menunjukkan bukti sebagai katalisator dan perbandingan. Keempat, diterapkan perihal muslimah dalam suatu kondisi, ialah Mumthahanah, artinya adalah wanita-wanita yang diuji, dalam sebuah surat pada al-Qur’an. Menunjukkan kepada kehidupan, bahwa selaku muslimah ternyata mengundang resiko, tetapi mereka mampu menghadapinya secara baik dan kemudian tampil sebagai sosok-sosok pribadi yang cocok dengan sebutan bagi dirinya.
 Al-Qur’an sebagai kitab suci dan petunjuk bagi ummat manusia, tentunya menjadi tolok ukur bagi segenap aspek yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Satu di antara sejumlah cakupan pembahasan di dalam al-Qur’an, yaitu aspek sejarah yang melingkupi masa lalu, masa kini dan masa depan. Memberikan perhatian khusus kepada muslimah.  Sejarah sebagai bagian dari kandungan al-Qur’an, antara lain berisikan beragam kisah perjalanan kehidupan ummat manusia. Beberapa di antaranya adalah kisah-kisah tentang muslimah, dengan karakter yang berlainan antara satu muslimah terhadap lainnya. Hidup berdasarkan zaman, tempat dan tokoh manusia yang berperan sangat besar pada saat itu.
 Al-Qur’an mencantumkan kisah tentang muslimah dalam beberapa sosok figur. Pertama, penampilan sosok muslimah yang senantiasa memelihara diri, tetapi melalui karunia Allah SWT ia kemudian hamil dan melahirkan seorang putera. Muslimah itu bernama Maryam dan anaknya bernama Isa  A.S. yang menjadi cerminan perihal perjuangan muslimah, yang senantiasa menghambakan diri kepada-Nya. Kedua, kisah seorang ibu, sebagai muslimah yang dekat kepada Allah SWT dengan senantiasa dibimbing oleh-Nya. Sehingga anaknya selamat dari upaya pembunuhan, hingga kemudian mampu menghancurkan kesombongan seorang raja besar dan kuat, yaitu Fir’aun penguasa Mesir saat itu. Muslimah yang dimaksudkan adalah ibu Nabi Musa A.S., yang senantiasa diberi tuntutan dari Allah SWT. Ketiga, perihal perubahan keyakinan pada saat-saat memiliki kekuasaan dan kejayaan yang tinggi, tetapi kemudian menjadi tunduk, patuh, dan taat kepada Allah SWT. Penggambaran sosok muslimah yang sangat menyadari, tentang kebenaran hakiki yang datangnya dari Allah SWT. Muslimah itu adalah Ratu Bilqis, yang kemudian menjadi istri dari Nabi Sulaiman A.S. Keempat, perbandingan tentang sejumlah karakter dari seorang istri, yang dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan suami. Menampilkan sosok muslimah istri dari Fir’aun, sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku seorang istri sholehah, bersuamikan yang bukan saja ingkar kepada Allah SWT, tetapi juga menyatakan dirinya adalah seorang tuhan. Dengan istri-istri nabi Luth A.S. dan nabi Nuh A.S., yang merupakan pencerminan sikap dari istri-istri yang tidak sejalan dengan suami-suami yang begitu berserah diri dan patuh kepada Allah SWT.
D. MELURUSKAN PELBAGAI KEKELIRUAN
Sebenarnya segala apa yang telah menjadi ketetapan di dalam agama Islam, melalui wahyu-wahyu dari Allah SWT dan Sunnatur Rasulullah, bukanlah sebagai permasalahan melainkan berupa sejumlah karunia. Islam adalah salah satu agama yang dianut, bukan saja bersadarkan perjanjian sebelum dilahirkan, tetapi juga dengan mempertimbangkan hasil olah nalar, olah jiwa, dan keteladanan pemeluk-pemeluknya, sehingga tidak pantas setiap ketentuan di dalam Islam, dianggap sebagai permasalahan atau sesuatu yang akan menjadi beban penderitaan.
Andaikata ada yang menganggap beberapa ketentuan dari Allah SWT dan Rasul-Nya adalah satu atau lebih permasalahan, maka hal itu karena ketidaktahuan dan rasa pengingkaran belaka. Marilah disimak secara seksama, hal-hal yang sementara ini oleh sebagian ummat Islam dan pandangan orang-orang yang tidak menyukai agama Islam, sebagai kekeliruan mereka sehingga tampak sebagai bentuk-bentuk keburukan di dalam Islam.
1. Hijab dan hasrat kewanitaan
Sebagai makhluk yang sangat berbeda dari muslim secara khusus dan kaum lelaki pada umumnya, muslimah dengan konsekuensi logisnya harus berpenampilan secara khas. Hijab yang secara sepintas memberikan pembatasan bagi para muslimah, pada prinsipnya adalah untuk membantu menampilkan lebih tegas tentang citra dan nilai yang dipunyai. Pertama, menciptakan ketegasan kedudukan, dengan memberikan pelbagai aturan yang jelas, tegas, dan tetap. Kedua, memelihara nilai-nilai kesucian yang tinggi, dikarenakan mempunyai fungsi dan peranan yang memberikan andil besar bagi kehidupan di dunia. Ketiga, lambang dari suatu karakter yang harus demikian dilindungi, agar tidak ternodai oleh hal-hal di luar hak-hak istimewa bagi perwujudan sistem tata nilai luhur. Keempat, merupakan identitas yang khas, sehingga dengan mudah dikenali.
Oleh sebab itu sangat tidak beralasan, andaikata hijab yang pada dasarnya menjadikan muslimah berada pada posisi dan tuntutan perilaku terbatas, harus ditolak karena seolah-olah tidak memberikan peluang terhadap pencapaian hasrat kewanitaan, akibat adanya perbedaan yang terjadi dengan lelaki dan persaingan antar sesamanya. Justru dengan hijab, muslimah diberikan status yang sangat bernilai tinggi, hingga harus dipelihara secara benar.
 Lebih jauh maksud dari hijab sesuai dengan artinya adalah pembatas atau pelindung, memberikan perlindungan kepada muslimah dari pelbagai segi, yang antara lain adalah: Pertama, pencegahan pelecehan dan eksploitasi terhadap nilai-nilai kewanitaan yang dimiliki oleh muslimah. Akibat dari pada pengumbaran nafsu dari orang-orang yang memang senantiasa melihat, bahwa apa saja yang dimiliki oleh wanita dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang rendah dan hina. Kedua, perwujudan cinta dan kasih sayang dari muslimah terhadap suami dan keturunannya.
2. Poligami dan cinta-kasih
Setiap manusia dan bahkan mungkin makhluk hidup lainnya, mempunyai suatu cara tertentu yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan pengorbanan. Pada muslimah, pengorbanan paling tinggi yang dapat dilakukan adalah mampu memberikan milik pribadinya bagi seseorang yang dicintainya dengan imbalan yang sama. Betapa tidak, poligami yang merupakan pernikahan antara seorang muslim dengan lebih dari satu istri, tetapi tidak dapat lebih hingga empat orang, menjadikan muslimah berstatus sebagai istri yang dimadu atau menjadi madu, adalah puncak perwujudan dari pengorbanan yang lahir dari tingkat pengabdian tak berhingga. Sungguh suatu yang amat laur biasa! Sedangkan puncak pengorbanan dari lelaki muslim, selain ia siap mengorbankan harta dan nyawa di medan jihad fisabilillah. Biasanya ia dituntut untuk membela kepentingan keluarga dan ummatnya.
Poligami, sisi lain, merupakan suatu cara pembelaan terhadap sesamanya, agar saudara-saudara wanita seimannya mempunyai kesempatan mengecap keindahan hidup seperti dirinya. Bukankah ini sesuatu yang sangat agung, indah, dan suci bagi muslimah terhadap sesamanya?
Andaikata tokh ada yang menuduh, bahwa poligami adalah ungkapan ketidakpuasan atau ketidaksempurnaan seorang muslim, dalam masalah penyaluran syahwat dan kebutuhan biologisnya. Maka hendaknya dikaji, dianalisis dan disusun fakta tentang persentase aktivitas yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan lainnya, dikaitkan dengan peluang dan kemampuan yang ada.
3. Rumahtangga dan karier
Penekanan kepada muslimah untuk sebaiknya banyak berada di dalam rumah tinggal, yang dimaksudkan sebagai ungkapan untuk senantiasa bersatu dengan kehidupan rumah tangga, ditinjau dari beberapa sisi menurut penilaian fihak-fihak tertentu, adalah sesuatu hal yang menimbulkan banyak kerugian.
 Banyak orang menilai bahwa tuntutan seperti itu sama dengan memenjarakan kaum muslimah, dan menghancurkan kemampuan yang dimiliki untuk berkiprah di luar ruang lingkup rumah tinggalnya. Untuk apa, misalnya diperkenankan menuntut ilmu pengetahuan hingga memiliki keahlian dalam bidang-bidang tertentu, tetapi kemudian hanya sebagai suatu pajangan atau perhiasan, tanpa diberi kesempatan untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
 Anggapan semacam ini hendaknya mengacu kepada beberapa pemikiran, yang merupakan pertimbangan logis, kenapa muslimah sebaiknya lebih banyak berada di rumah tinggal guna mengurusi kehidupan berumah tangga. Pertama, muslimah telah diberikan amanah yang cukup besar dan berat, mulai dari memelihara harta benda yang dimilki dengan suaminya, menjaga kehormatan diri sendiri selaku istri, mengandung dan mengasuh anak, hingga menjadi lambang eksistensi rumahtangganya dalam dimensi dunia yang khas. Kedua, di dalam rumah tangganya, muslimah mendampingi makhluk-makhluk calon generasi masa depan, mereka harus senantiasa dibantu untuk dapat tegak dan tegar memperjuangkan kehidupan mereka kelak. Ketiga, akan banyak aktivitas yang tidak banyak dilakukan selain dalam rumah tinggal, sebagai konsekuensi logis bagi terbentuknya hidup berumah tangga, hal itu hanya dapat dilayani oleh seorang muslimah karena memiliki peluang yang besar. Keempat, pelbagai kemapuan yang dimiliki, tidak berarti akan menjadi sia-sia karena berada di rumah tinggal dalam mengurus rumah tangga, paling tidak muslimah adalah guru awal bagi anak-anaknya (madrosaltul ‘ulaa). Kelima, apabila kondisi dan situasi memang memungkinkan atau terpaksa harus memiliki aktivitas di luar rumah, sebagai suatu cara meniti dan menggeluti karier, hendaknya tidak membuat rumahtangga dan rumah tinggal menjadi terbengkalai, dengan tetap berpegang kuat terhadap kodrat, kewajiban, dan tata norma untuk muslimah.
4. Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan sering menjadi sorotan dan mengundang perdebatan panjang bagi muslimah untuk dapat meraih dan melakukannya. Hal ini sesungguhnya bukanlah masalah dan tidak perlu senantiasa dipersoalkan, sebab banyak hal yang dapat dipergunakan sebagai pendekatan agar tercipta pengertian yang dalam, dan kemudian dapat diaplikasikan kepada kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya muslimah adalah seorang pemimpin, apakah bagi dirinya sendiri atau anak-anaknya. Ia pun pemimpin pula bagi saudara-saudaranya yang seiman, baik itu muslim maupun muslimah sesamanya. Pada hakekatnya, kepemimpinan bukan hanya didasarkan kepada struktur atau pola susunan tertentu. Kepemimpinan tumbuh dan terus berlangsung dari pada keteladan yang ditampilkan.
 Andaikata boleh diistilahkan, kaum muslim adalah pemimpin yang bersifat tampak keluar, sementara muslimah bersifat ke dalam dan terbatas. Tetapi tidak menutupi kemungkinan, bahwa muslimah dapat tampil sebagai pemimpin dengan secara ke luar dan terbuka, apabila memang situasi dan kondisi menginginkan untuk hal tersebut. Di dalam struktur kepemimpinan  di negara yang berdasarkan ajaran Islam, paling tidak ada tiga kekuatan yang berfungsi pemimpin dengan karakteristik hierkahi tersendiri. Yaitu, mahkamah ulama atau dewan ahli syari’ah, majlis syuro atau majlis musyawarah ummat, dan kepala pemerintahan dengan para menterinya.
 Kepala pemerintahan dengan para menteri dipilih langsung oleh ummat, begitu pula anggota majelis musyawarah ummat, dan mahkamah ulama. Hanya saja, ketiga organ kepemimpinan tersebut memiliki tugas masing-masing. Kepala pemerintahan dengan para meteri menjalankan program-program yang disusun dan ditetapkan oleh majelis musyawarah ummat, hasil dari masukkan pelbagai sumber. Maka mahkamah ulama merupakan pengontrol perilaku keduanya. Untuk kondisi yang semacam ini, muslimah berhak menjadi kepala pemerintahan. Karena berstatus selaku perpanjangan tangan dan langkah belaka, mirip selaku lambang bagi pemerintahan.
Hanya saja perlu diingat dan diperhatikan secara seksama, kenapa muslimah “dibatasi” dalam masalah kepemimpinan, antara lain didasari oleh beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, karakteristik muslimah yang lembut dan halus, lebih cocok untuk melakukan aktivitas yang bersifat membentuk dan memperkokoh, sementara kepemimpinan lebih cenderung ke menata dan mengarahkan. Kedua, muslimah dibatasi oleh hal-hal yang terkadang dapat menciptakan bumerang bagi dirinya sendiri, padahal dalam kepemimpinan dituntut kesiapan dan kondisi prima setiap saat, apabila tidak demikian maka akan menjadi pembalikan dari pada fungsi dan peranan. Ketiga, telah diberikan ruang garap tersendiri bagi muslimah, didasarkan kepada kodrat dan karakter yang dimiliki, sehingga andaikata hal ini ditinggalkan akan menjadi luluh lantah, sementara yang ditekuni tidak tercapai sampai ke tujuan. Keempat, muslimah tidak akan menjadi tanpa arti kehilangan makna, andaikata ia tidak tampil sebagai pemimpin. Sebab Allah SWT telah menetapkan peluang-peluang untuk mencapai tingkat prestasi puncak, didasarkan kepada aspek-aspek yang antara lain karena jenis kelamin dan eksistensi yang dimiliki.
5. Persaksian setengah dari kaum muslim
Hukum merupakan perangkat untuk mengetahui bobot dan kualitas keyakinan, sekaligus adalah suatu cara mengatur tata kehidupan agar menapaki jalur tertentu sebagai konsekuensi logis. Sedangkan keyakinan merupakan dasar yang kokoh bagi terlaksananya hukum-hukum, dan sebagai kekuatan dalam menghadapi konsekuensi logis akibat pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Keyakinan dan hukum akan saling menunjang, senantiasa dibutuhkan guna membuktikan kebenaran dari sesuatu yang dipilih dan dipeluk, bahkan dapat menumbuhkan sikap pembelaan puncak bagi kelangsungan hidup nilai-nilai yag dikandungnya. Di antara keyakinan dan hukum, muslimah mempunyai banyak posisi yang berbeda dengan muslim. Mengakibatkan penafsiran-penafsiran yang melenceng, oleh pelbagai fihak tertentu dengan sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Muslimah dalam kedudukan selaku saksi, di dalam Islam nilainya adalah setengah dari muslim; seorang muslim sebanding dengan 2 orang muslimah. Sepintas hal ini melahirkan penilaian, bahwa Islam mendudukkan muslim dalam suatu posisi tidak sempurna. Padahal bukan itu maksud dari penetapan pola persaksian tersebut di dalam agama Islam.
 Harus diakui secara jujur, kendati muslimah telah diberikan banyak kemuliaan oleh Allah SWT, tidak menjadikan sebagian dari kaum muslim menghayati benar tentang karunia yang diterima oleh muslimah. Masih banyak sikap dan pandangan yang senantiasa mengacu kepada aspek fisik-jasmaniah, yang tampaknya memang begitu lemah dan demikian terbatas. Sementara itu, andaikata dikaji dengan cermat, apabila seseorang diamanati sebagai saksi, ia mempunyai peluang menanggung resiko sangat berat. Kemungkinan untuk dianiaya, bahkan berpeluang untuk dibunuh pun adalah sangat besar kemungkinannya.
 Seseorang yang dijadikan sebagai saksi, guna memperkuat suatu aktivitas tertentu yang memiliki maksud, tujuan, dan sasaran secara umum adalah keadilan dan kebenaran. Adalah bulan pekerjaan mudah dan disukai banyak orang, padahal sangat penting dan mutlak. Jadi amat wajar, apabila ada seorang muslimah berkenan menjadi saksi, ia pun harus pula melibatkan minimal seorang muslimah dalam pelaksanaannya.
 Lebih jauh lagi, perihal muslimah yang dijadikan saksi harus berjumlah dua kali lipat dari muslim. Dengan tugas dan wewenang yang sama, dimaksudkan sebagai. Pertama, cara agar muslimah tidak dilecehkan oleh pihak-pihak tertentu, karena dilihat mempunyai kelemahan. Maka dengan jumlah yang lebih banyak, akan memungkinkan terhindarkan dari upaya-upaya pengingkaran. Kedua, muslimah merupakan sosok pribadi yang selalu bersifat ingin mempunyai teman atau pendukung. Sehingga dalam menunaikan tugas suci sebagai saksi pun diberikan kesempatan untuk tetap mewujudkan instink fitrahnya tersebut.
6. Warits dengan perbandingan 1:2
Hampair sama dengan masalah persaksian, dalam masalah hak warits pun muslimah hanya memperoleh setengah dari bagian muslim. Menurut pemikiran sebagai manusia, hal ini adalah sesuatu yang tidak adil, kenapa muslimah yang katanya mempunyai tugas demikian mulia dan memberikan sumbangan besar bagi kehidupan, tidak memiliki hak yang sama dalam masalah warits. Untuk meninjau hal ini, sebaiknya kita mulai dari tentang kewajiban antara muslim dan muslimah dalam masalah harta benda. Ternyata kewajiban pokok dan elementer ditekankan kepada para muslim atau lelaki Islam.
Berikutnya adalah dilihat dari segi pendayagunaan, bahwa muslimah ternyata mempunyai kewajiban untuk merawat dan memanfaatkan harta benda milik suamimya, hasil dari usaha-usaha yang telah dilakukan melalui cucuran keringat dan tingkat pengetahuan tersendiri. Dengan demikian sebenarnya pembagian warits itu, lebih cenderung sebagai formalitas belaka. Karena kelak akan dititipkan atau diberikan kepada muslimah pula.  Dapat juga dikarenakan sebagai cara untuk medidik para muslim, agar ia dapat benar-benar memanfaatkan amanah yang diterima, guna kepentingan-kepentingan yang sejalan dengan ajaran Islam. Sebab ia lebih banyak menerima harta benda selaku warits, yang sesungguhnya pula adalah sebuah pengorbanan dari pada muslimah.
Lebih jauh dengan penetuan hak warits sebagaimana yang telah diberlakukan, ternyata menekankan kepada aspek-aspek sebagai berikut di bawah ini. Pertama, mengajarkan, menegaskan, dan memperlihatkan bahwa muslimah itu tidak haus harta benda, karena selain kecenderungan yang ada, juga tuduhan yang diarahkan kepada muslimah dengan menempatkan ke dalam posisi sebagai lambang dari ketamakan pemilikan harta benda. Kedua, mengangkat citra muslim yang memang mempunyai kewajiban utama selaku pencari nafkah, dengan memberikan formalitas bahwa ia diberi kepercayaan untuk menerima dan mengelola harta benda yang dimiliki. Ketiga, masih diberikan peluang yang besar dan luas, bagi muslimah untuk menerima jumlah warits yang lebih besar, karena tidak ada penekanan atau perintah, yang melarang muslim untuk kemudian meyerahkan harta warits yang diterimanya kepada muslimah. Keempat, terciptanya peluang untuk mewujudkan suatu amal sholeh bagi muslim, yang memang cenderung memberi kepada muslimah, sehingga terciptanya pola komunikasi yang kian hangat dan hakiki.
7.  Dipersulit bercerai
Sisi lain yang senantiasa memperoleh sorotan tajam, yaitu terkait masalah perceraian. Muslimah tidak diberi kedudukan yang sama dengan muslim. Sehingga andaikata ada hal-hal yang memungkinkan perceraian adalah jalan terbaik, tidak dapat dilakukan karena hak menjatuhkan talaq atau cerai lebih besar ada pada pihak suami. Untuk itu hal-hal yang melatarbelakangi, kenapa muslimah dipersulit untuk melakukan perceraian, adalah sebagai berikut. Pertama, perceraian lebih banyak mendatangkan kerugian dan problema bagi pihak muslimah, akhirnya memungkinkan terjadinya suatu dugaan yang menganggap, bahwa lelaki oleh Islam diberi kekuasaan untuk melecehkan dan menyudutkan posisi muslimah ke sisi yang paling tidak dihambat secara ketat. Kedua, mendatangkan penilaian tentang ketidakmampuan muslimah  dalam menghadapi gelombang cobaan sebagai konsekuensi logis dari ikatan pernikahan. Sehingga citra muslimah menjadi sangat rendah, cenderung lemah, sebab andaikata dikaji lebih jauh, sebenarnya tuntutan perceraian tidak mungkin lahir dari keutuhan melaksanakan syari’ah.
 Begitu berat resiko yang ditimbulkan dari perceraian, sementara kecenderungan muslimah terhadap perbuatan tersebut sangat mungkin terjadi. Menuntut diciptakan suatu pagar-pagar pembatas yang rapat dan kokoh, sehingga tidak ada lagi celah dan kelemahan atau kerapuhan, yang membuat mudah perceraian itu dilakukan.
Lebih jauh lagi, dampak negatif dari pada perceraian yang dapat dirasakan adalah: Pertama, memporakporandakan struktur dan pola komunikasi antara suami dan istri, anak dan orang tua, mertua dan menantu, karib kerabat dan saudara, serta seriap aspek yang berkaitan dengan usnur-unsur tersebut. Kedua, menciptakan peluang bagi perwujudan sakit hati dan dendam kesumat, sehingga menghilangkan ketenangan dan keharmonisan dalam kehidupan. Ketiga, malahirkan sebuah pola persaingan tidak wajar bagi pihak yang telah bercerai dalam memperoleh penggantinya sebagai istri atau suami yang baru. Keempat, ada kemungkinan dikarenakan kehampaan kesadaran dan hilangnya akal pikiran sehat, terjadinya pelampiasan-pelampiasan yang berorientasi kepada seks tanpa pernikahan atau perzinaan, yang memberikan ancaman bagi tata nilai kemasyarakatan dan penyakit sosial yang sangat mengerikan.
8. Mentuhankan suami
Pengertian mentuhankan di sini adalah secara metaforis, yang maksudnya adalah bahwa suami bagi seorang muslimah adalah lambang Allah SWT dalam bentuk manusia. Di sini muslimah sebagai istri dari seorang lelaki yang menjadi suaminya, dituntut untuk mentaati tanpa reserve terhadap suaminya itu. Kondisi ini memberikan peluang terhadap penilaian yang salah, seolah-olah menjadi muslimah itu berarti sama dengan sebagai seorang budak dari suaminya.
 Sehingga hak-hak asasi sebagai wanita merdeka menjadi terpasung, dan sepenuhnya ditentukan bagaimana sikap perilaku suaminya. Menjawab penilaian semacam ini, hendaknya terlebih dahulu melihat sosok siapakah muslimah yang berstatus sebagai suami, dan apa yang harus dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya di dalam ajaran Islam.
 Muslim adalah seorang lelaki yang dirinya telah dengan secara tulus ikhlas menerima dan akan mengamalkan ajaran Islam dengan utuh. Sebagai seorang muslim, andaikata menikah dengan seorang muslimah, maka kedudukannya sebagai seorang suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, yang antara lain sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan hak-hak muslimah, yaitu menjadi pemimpin, pelindung, dan pemenuh pelbagai kebutuhan istri. Kesemuanya itu dapat terwujud dengan baik, karena dipengaruhi oleh suatu karakteristik yang disebutkan akhlaqul karimah; sistem sikap perilaku penuh dengan kesucian dan keluhuran. Sehingga wajarlah andaikata kemudian, muslimah dituntut untuk mentaati suaminya dengan sepenuhnya. Merupakan imbal balik dari pada apa saja yang telah diterima dari suaminya, yang tentunya dinikahi bukan karena aspek-aspek yang bersifat pemaksaan atau pelampiasan belaka. Melainkan didasarkan keyakinan dan keikhlasan, bahwa ia akan menemukan dan menikmati kehidupan yang sangat membahagiakan.
Selanjutnya hendaklah dipahami dengan seksama, bahwa apabila seorang muslim dan muslimah telah sepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri, diperlukan pembagian tugas yang tuntas dan menyentuh setiap aspek kehidupan berumah tangga. Cara yang paling tepat adalah, suami hendaknya diberi wewenang untuk memiliki otoritas tertinggi; istri mentaati sepenuhnya secara konsisten. Tentunya, selama selama suami pun mentaati segala ketentuan yang terdapat pada syari’ah, senantiasa tidak menyeleweng dari hukum-hukum Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
9. Mempunyai banyak anak Doktrin lain terhadap wanita atau muslimah, yaitu ditekankan agar memperoleh keturunan, sehingga akan mempunyai banyak anak. Secara sepintas hal ini merupakan beban yang sangat memberatkan bagi muslimah. Sebagaimana diketahui, resiko mengandung dan melahirkan bagi seorang muslimah memungkinkan sebuah penderitaan yang luar biasa.
 Belum lagi resiko yang demikian berat, di dalam upaya menghidupi  dan memenuhi kebutuhan sandang dan pangan, mendidik dengan proses yang panjang dan lama, membantu mencarikan jodoh dan menikahkan pada batas usia tertentu, hingga kemungkinan turut serta terlibat dalam kehidupan rumahtangga anak-anaknya. Dalam menjelaskan persoalan ini, terlebih dahulu hendaknya dilihat hubungan muslimah selaku seorang wanita dan sebagai seorang ibu kandung. Selaku seorang wanita, setiap muslimah secara fitrah menunjukkan bahwa dirinya adalah wanita sempurna yakni dengan melalui mengandung, melahirkan, dan mempunyai anak. Sangat sulit dipisahkan kedudukan seorang wanita dengan anak. Sedangkan sebagai seorang ibu kandung, muslimah secara umum akan merasa bangga dengan jumlah anak yang banyak, karena anak-anak adalah buah hati, mutiara jiwa, belahan hidup, dan sejumlah sebutan lain yang senada.
10. Dilarang mengimami lelaki dan beradzan
Anggapan tentang “ketidakadilan Islam” terhadap muslimah menurut penilaian pihak-pihak tertentu menjadi bertambah, dengan adanya larangan untuk mengimami sholat berjamaah yang didapatkan lelaki dewasa dan menyerukan ajakan sholat yang disebutkan dengan adzan. Secara sepintas, ajaran Islam tentang hal ini menunjukkan perihal kedudukan muslimah yang dinomor duakan.
 Terkait masalah muslimah dilarang menjadi imam dalam sholat berjamah yang ada lelaki dewasa, hendaknya kita melihat tentang posisi sholat berjamaah. Seorang imam dari lelaki dewasa yang memenuhi persyaratan berada paling depan, kemudian di belakangnya shaf-shaf sholat berjamaah yang terdiri atas lelaki dewasa, remaja, dan kemudian anak-anak. Dengan rentangan jarak tertentu, kemudian shaf-shaf muslimah yang dimulai dari anak-anak, remaja, kemudian yang telah dewasa. Posisi yang demikian dalam sholat berjamaah semacam ini, memberikan kedudukan kepada muslimah dewasa berada paling belakang; merupakan suatu kondisi dapat melihat dan mengawasi perilaku setiap yang terlihat dalam aktivitas sholat berjamaah.
 Jadi dapatlah dipahami, bahwa tidak diperbolehkannya muslimah menjadi imam sholat berjamaah yang sebagiannya adalah lelaki dewasa, dimaksudkan agar muslimah sebagai kekuatan garis belakang dapat mengawasi dan menilai tentang dan melihat tentang karakter setiap pribadi muslim, mulai dari imam, anggota jamaah lelaki dewasa, remaja, anak-anak, begitu pula muslimah anak-anak dan remaja. Dari posisi ini menunjukkan, betapa besar peranan yang diberikan kepada muslimah; sejalan dengan sebutan tiang masyarakat atau negara. Dengan demikian pula dapatlah diambil suatu perbandingan, bahwa kedudukan muslimah yang sebagaimana telah ditetapkan, mempunyai tingkatan yang sama dengan imam. 
 Apabila imam sholat berjamaah dari muslim dewasa berada di depan memimpin anggota jamaah, melalui penampilan dan gerakan yang harus diikuti. Maka muslimah dewasa berada pada shaf-shaf paling belakang, guna mengawasi dan menilai anggota jamaah, sekaligus pula sebagai yang dapat memberitahu andaikata terjadi kekeliruan atau penyimpangan.
 Sedangkan di dalam pelaksanaan pemberitahuan untuk melakukan sholat atau adzan, dikarenakan tempat yang lebih baik didalam melakukan sholat bagi setiap muslimah adalah di rumah. Tampaknya agar tidak merepotkan kaum muslimah dengan penambahan aktivitas di luar rumah, padahal kegiatan-kegiatan di dalam rumah secara pasti telah begitu banyak menyita waktu. Di sisi lain adalah memperkecil peluang bagi pihak-pihak lain, yang mempunyai kecenderungan atau kebiasaan buruk terhadap wanita, untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan fitnah dan bencana.
E. PENUTUP
Wanita merupakan sosok yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab secara proporsional oleh Allah SWT. Untuk itu, seharusnyalah ia menyadari dan menerima semua tugas dan tanggung jawab tersebut dengan penuh tanggung jawab. Selain itu, Allah SWT telah banyak memberikan kemuliaan terhadap wanita, yang dapat memposisikannya pada tempat yang sangat terhormat. Namun demikian, kiranya perlu penyadaran yang tinggi dari para wanita, karena masih banyak kesalahpahaman memaknai pemuliaan Islam terhadap wanita. Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Amien
 
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkomentar di website kami

 

© Copyright Berita Lamongan Terkini 2010 -2011 | Design by Kabarlamongan.com | Published by Nirwana Digital Print | Powered by Blogger.com.