Oleh: Ustaz M Arifin Ilham
Kami mengenalnya sebagai seorang juru dakwah. Sering dia diminta untuk memberi wejangan agama.
Namun, beberapa tahun terakhir ia meninggalkan gelanggang dakwah dan bergabung dengan partai politik lalu masuk di parlemen.
Kesehariannya kini lebih sering menenteng gadget, seperti iPad dan HP di tas mininya. Mungkin sebagai pengganti tasbih yang dulu biasa diputar sambil berzikir.
Biasanya,
sebelum azan, wajahnya selalu tampak basah oleh air wudhu dan sudah
bersiap di belakang mihrab. Kini, walau azan sudah berkumandang, beliau
terlihat masih sibuk menyalami relasi dan kolega politik.
Majelis-majelis ilmu dan mimbar-mimbar dakwah yang dulu membesarkan
namanya, kini terlihat hanya seperti hiasan.
Kita pasti mengelus
dada. Sangat disayangkan jika akhirnya beliau benar-benar meninggalkan
harakah dakwah. Semoga saja, sahabat kita ini kembali berjuang
menegakkan kebenaran dan Islam.
Tulisan ini tentu bukan ajakan
untuk meninggalkan gedung parlemen atau melepas kursi kementerian. Tidak
sama sekali. Ini hanya sekadar seruan moral untuk istiqamah dalam
dakwah.
Masih terekam dalam ingatan kami, ketika beliau
berpamitan. “Semoga posisi ini memudahkan langkah dakwah kita, narju
bidu'aikum (mohon doa) ya ustaz,” ucapnya.
Sejujurnya ingatan
ini hanya menambah gerusan hati saja karena kenyataan justru lebih
tampak bukan sebagai batu loncatan dakwah yang memudahkan tapi
menjatuhkan.
Peran juru dakwah yang “berubah” ini pastinya bukan
hanya pada diri beliau, tapi telah membiak di negeri ini. Dulu kita
mengenalnya sebagai ustaz, guru agama, penceramah, dai, punya pondok
pesantren, dan sebagainya. Akan tapi, setelah masuk wilayah kekuasaan,
peran itu berubah.
Kita sudah sering mendengar banyaknya pejabat
yang masuk 'hotel prodeo'. Tak hanya politisi, tapi juga sosok yang
selama ini dikenal alim. Sering juga kita dengar, ada banyak sekali
pesantren tutup, karena para santrinya tidak lagi terurus. Karena
pengasuhnya jarang pulang dan tak sempat mengajar. Majelis-majelis
taklim berhenti, karena ustaz atau ustazahnya sedang ke luar kota.
Atas
keadaan inilah, rasanya penting melihat lagi risalah istiqamah dalam
dakwah. Tidak mengapa berganti “baju”. Dengan lebih “bergaya”,
seharusnya daya jelajah dakwah lebih kuat dan menghunjam.
Rasanya
menjadi luar biasa jika manusia-manusia Muslim parlemen atau para
petinggi kekuasaan, sesaat sebelum terdengar suara azan, pimpinan sidang
meminta penghentian sidang untuk bersama melaksanakan shalat berjamaah.
Indahnya pemandangan itu.
Jika sudah demikian, benarlah keadaan
mereka. Silakan rebut dunia, raih kedudukan, tapi jangan tinggalkan umat
dan akhirat. Jadikan kursi dan meja sidang sebagai mushala. Jadikan
persidangan dan lobi-lobi sebagai mimbar dakwah.
Saudaraku,
tetaplah bersahaja, apa adanya. Amalan kebaikan yang sebelumnya hidup,
hidupkan kembali. Sungguh, buah istiqamah itu akan menanti kita. Orang
yang istiqamah dalam dakwah sebenarnya sedang meniti jalan surga.
Mereka
akan selalu dikawal dan dihibur para malaikat. Dan Allah beserta para
makhluk-Nya, akan turut membantu setiap urusan mereka, baik dunia maupun
akhirat. (QS Fushilat [41]: 30). Wallahu a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkomentar di website kami