Iklan

Iklan
Advertorial
News Update :

Prospek Perbankan 2012

Rabu, 08 Februari 2012

bank, perbankan, prospek perbankan, banking, banker, prospek bank
Sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun kemudian pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi. Ryan Kiryanto

Prospek Perbankan - Bank Indonesia (BI) menilai, meski pertumbuhan industri perbankan nasional terus mengalami perbaikan, namun kontribusinya dalam pembangunan ekonomi nasional masih sub-optimal alias belum memadai.
Hal yang berlawanan itu terlihat pada fakta bahwa rasio total aset industri perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada September 2011 lalu hanya sebesar 47,2%.
Di sisi lain, rasio penyaluran kredit terhadap PDB hanya 29%. Sebagai perbandingan, rasio kredit terhadap PDB di Malaysia 114%, Thailand 117%, dan Cina 131%.

Selain itu, perspektif dari dunia usaha memberi gambaran yang sama, seperti hasil survei BI yang menyebutkan bahwa pangsa kredit bank dari total pembiayaan perusahaan sangat minim, yaitu untuk modal kerja (KMK) hanya 25% dan untuk investasi (KI) hanya 21%.

Sebaliknya, dana internal perusahaan (self financing) tersebut merupakan sumber utama pembiayaan perusahaan, yaitu 61% untuk investasi dan 48% untuk modal kerja.
Tingginya aset industri perbankan yang belum seimbang dengan peningkatan kontribusinya terhadap perekonomian nasional terjadi karena aset perbankan yang dari perspektif makro tidak produktif, yaitu penempatan dalam instrumen moneter dan surat berharga negara (SBN).

Per Oktober 2011, kepemilikan bank pada SBN adalah Rp245,97 triliun, sementara dana bank pada instrumen moneter di SBI dan term deposit Rp415,48 triliun. Total penempatan ini mencapai 31,4% dari total kredit yang mencapai Rp2.106,2 triliun. Sekitar 60% dari penempatan dana bank di instrumen moneter BI dikuasai oleh 10 bank besar.

Itulah yang ditengarai bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien bekerjanya. Tingkat efisiensi industri perbankan yang masih rendah itu juga telah memberikan kontribusi terhadap penetapan suku bunga kredit yang tinggi, yang setidaknya tecermin dari rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang 86,44% per Oktober 2011.

Tingkat efisiensi industri perbankan yang masih rendah juga memberi kontribusi terhadap penetapan suku bunga kredit yang tinggi. Sebagai perbandingan, rasio BOPO perbankan di kawasan ASEAN berada pada 40-60%.

Jadi, meskipun fungsi intermediasi telah berjalan cukup baik, namun ketidakefisienan perbankan melahirkan biaya ekonomi tinggi, yang secara nyata tecermin pada tingginya suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI), dan konsumsi (KK) yang masing-masing 12,09%, 11,66%, dan 13,4% pada Oktober 2011 padahal BI rate sudah di posisi 6%.

Sebagai perbandingan, di Malaysia dan Filipina, suku bunga acuan mereka 3% dan 4,5%. Sementara suku bunga kredit banknya hanya 6,5% dan 5,7%.

Dalam hal ini, terdapat 13 bank Indonesia dinilai layak menjadi bank paling efisien dibandingkan dengan bank-bank lain pada kategori masing-masing. Kategori itu adalah bank asing dan campuran, bank umum swasta nasional, bank syariah dan bank pembangunan daerah (BPD), serta bank umum atau bank BUMN.
Ke-13 bank terdiri atas atas dua bank BUMN, empat bank umum swasta nasional devisa, satu bank perkreditan rakyat (BPR), dua bank campuran, tiga bank asing, dan satu bank umum swasta nasional devisa syariah. Tahun ini, terjadi peningkatan jumlah bank yang masuk kategori bank efisien. Tahun lalu, bank yang tergolong efisien hanya berjumlah tujuh.

Selain itu, pada 2011 lalu sebaran bank yang masuk kategori efisien lebih merata yang mengindikasikan terjadi peningkatan efisiensi dalam operasional pada hampir semua kategori bank.
Dari gambaran itu, yang perlu dicermati adalah konstruksi berpikir bahwa rasio kredit terhadap PDB yang rendah dinilai sebagai kegagalan bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya.
Pandangan ini boleh jadi tidak sepenuhnya benar, karena kalau dilihat dari posisi loan to deposit ratio (LDR) yang berkisar 81%, maka rasio ini menggambarkan penyaluran kredit cukup besar. Bahkan beberapa bank memiliki LDR mendekati 100%.

Negasi yang lain adalah bahwa yang memberikan kontribusi terhadap PDB bukan hanya sektor perbankan saja, namun juga sektor keuangan non perbankan seperti industri pasar modal, anjak piutang, leasing, asuransi dan modal ventura.

Untuk pasar modal, setiap tahun rata-rata 20 emiten baru mencatatkan sahamnya di bursa efek dengan akumulasi nilai kapitalisasi pasar berkisar Rp 10–15 triliun. Bahkan untuk 2011, konon 25 emiten baru sudah melantai di bursa.  Dengan akumulasi dana publik puluhan triliun itulah perseroan-perseroan menjalankan roda operasional usahanya.

Negasi berikutnya adalah bahwa tidak sedikit pula korporasi yang karena berbagai pertimbangan tidak menggunakan dana perbankan maupun pasar modal sebagai sumber pendanaan, namun menggunakan dana miliknya sendiri (self financing) untuk mengembangkan usahanya.

Kalau pun mau menghitung volume PDB, maka ini mencerminkan akumulasi perolehan nilai moneter yang dihitung dari semua jenis transaksi perdagangan produk nasional dan internasional. Tentu didalamnya merupakan kontribusi dari berbagai aspek dan sektor yang saling terkait. Jadi tidak bisa dipilah-pilah sendiri-sendiri.

Tingginya nisbah kredit terhadap PDB di beberapa negara ASEAN di atas juga disebabkan oleh regulasi setempat baik di bidang perbankan maupun non perbankan yang memberikan sokongan nyata kepada perbankan untuk agresif menyalurkan kredit.

Jadi, jangan digeneralisasi kondisi regulasi di Indonesia sama dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Ambil contoh kasus di bidang pembiayaan infrastruktur. Selama ini urusan pembebasan lahan untuk industri banyak menemui kendala sehingga kredit tidak bisa tersalurkan dengan lancar. Hal yang sama boleh jadi tidak terjadi di negara-negara ASEAN.

Lebih daripada sekadar pembelaan oleh kalangan perbankan, kalau memang kontribusi perbankan dinilai belum optimal, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Perbankannya? Pemerintahnya? Regulatornya? Atau, sektor riilnya?
Sebab, suka atau tidak suka, pemerintah, regulator atau otoritas perbankan juga memiliki andil mengapa fungsi intermediasi perbankan dinilai tidak optimal dengan mengacu kepada tolok ukur rasio kredit terhadap PDB saja? Soal suku bunga yang dikatakan tinggi, jelas ini semua karena mekanisme pasar terkait dengan hukum permintaan dan penawaran.

Lagi-lagi perbandingannya dengan perbankan negara-negara ASEAN yang jumlah banknya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah bank di Indonesia yang 121 bank. Siapa pun tahu kalau banyak pemain, maka persaingan akan ketat. Untuk memenangkan persaingan, penetapan suku bunga simpanan yang kompetitif menjadi senjata utama bank.

Celakanya, dalam menggali dana publik, perbankan juga ”bersaing” secara langsung dengan pemerintah yang terus menerus menerbitkan surat negara (SUN) utang dengan tingkat imbal hasil yang tinggi. Jadilah produk tabungan dan deposito bersaing dengan SUN atau ORI.

Belum lagi beberapa kementerian dalam menempatkan dana di perbankan juga melakukan ”tender” di mana dana akan ditempatkan di bank yang memberikan imbal hasil tertinggi. Jadi, mau dengan cara bagaimana lagi bank-bank harus menurunkan suku bunga kalau faktanya pasar selalu mendikte perbankan?
Dikhawatirkan bank yang tidak efisien sekali pun tetap akan menarik minat pemilik dana karena mereka dinilai mampu memberikan imbal hasil atau bunga yang tinggi, padahal sejatinya bank ini tengah dalam kesulitan likuiditas.

Jadi, sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun kemudian pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi.

Sekali lagi, inilah konsekuensi dari mekanisme pasar dengan persaingan terbuka menjadi aturan mainnya. Lantas, apakah tidak ada jalan keluar yang lain untuk menggerakkan penurunan suku bunga?
Ada, yakni bank menawarkan produk dan jasa perbankannya secara paket sehingga penetapan pricing bisa menjadi lebih rendah. Model “value chain” atau “supply chain” bisa terapkan di perbankan sehingga pricing menjadi jauh lebih kompetitif.

Dengan cara demikian, tercipta spirit “menang-menang” (mengambil salah satu pilar  ”Tujuh Kebiasaan Hebat” menurut Steven Covey) karena di satu sisi bank diuntungkan dan di sisi lain para nasabah juga diuntungkan. Apalagi kalau bank mampu memberikan layanan prima yang di atas standar rata-rata layanan perbankan, tentu nasabah akan loyal kepada banknya.

Di samping aspek tantangan nyata yang dihadapi perbankan nasional terkait semakin muramnya wajah peredkonomian dunia 2012 ini, maka prospek dan peluang yang baik pun tersedia melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

MP3EI bisa menjadi faktor kunci menggenjot kredit karena kebutuhan pendanaan untuk sektor infrastruktur berskala besar amat dinantikan. Bahkan pembiayaan perbankan akan semakin tersebar karena pelaksanaan MP3EI dilakukan melalui enam koridor ekonomi dari Aceh hingga Papua.

Dengan demikian, pusat-pusat pertumbuhan dengan potensi investasi dan industri unggulannya akan semakin memeratakan pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi terkonsentrasi di Jawa.
Yang pasti, perbaikan peringkat utang Indonesia menjadi investment grade (BBB-) dan prospek stabil perbankan yang diberikan Fitch Rating jangan sampai membuat industri perbankan terlena dalam menyalurkan kredit.

Rambu-rambu penyaluran kredit yang bijak dan aman tetap harus diterapkan. Contoh, pada saat krisis 2008 perekonomian Indonesia bagus, tetapi terjadi kelengahan terhadap kondisi ekonomi global sehingga kepercayaan investor asing turun.

Belajar dari penanganan krisis moneter 1997/98 dan krisis ekonomi 2008 silam, maka kalangan perbankan nasional tetap harus hati-hati, waspada dan terus memantau perkembangan lingkungan global agar dapat melakukan langkah-langkah antisipasi secara tepat dan efektif.

Lebih baik lagi jika setiap bank menyiapkan protokol manajemen krisis masing-masing untuk berjaga-jaga jika keadaan ke depannya semakin memburuk. Sebagai contoh, ketika likuiditas valas sedang seret, sebaiknya perbankan menghentikan sementara waktu pembiayaan valas dengan mengarahkan debitur meminjam dalam rupiah. (*)

Penulis adalah Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI)
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkomentar di website kami

 

© Copyright Berita Lamongan Terkini 2010 -2011 | Design by Kabarlamongan.com | Published by Nirwana Digital Print | Powered by Blogger.com.